Lihat ke Halaman Asli

Rahasia Halaman Belakang

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Derum starter mobil membuatku terbangun dari tidur dan langsung menegakkan telinga. Samar-samar mulai tercium bau asap knalpot. Asyik, tuanku akan pergi lagi.. Semoga kali ini dia lupa mengunci pagar belakang. Aku benar-benar ingin mengambil simpananku di halaman belakang. Ku berlari keluar melewati pintu khusus di bagian bawah pintu masuk utama, mengonggong singkat dan dijawab dengan lambaian tangan tuanku. Tuh, benar kan.. dia sendirian. Kemana perginya wanita yang bersamanya semalam? Untuk kesekian kalinya wanita yang dibawanya pulang tak pernah diantarnya pergi.

Sambil berlari memutari rumah, aku mengingat-ingat. Semua berawal beberapa tahun yang lalu, saat nyonya tidak lagi pulang kerumah. Tuanku sangat sedih dan mulai sering minum-minum, sampai tak sadarkan diri. Aku bisa merasakan alcohol saat menjilati mukanya, berharap dia cepat sadar dan tidak minum lagi. Kalau dia mabuk, kadang aku diusirnya keluar rumah, padahal biasanya dia membiarkanku tidur di sofa depan tv.

Aku sampai di gerbang yang memisahkan halaman samping dengan halaman belakang. Sudah lama sekali ku tak bisa kesana karena tuanku selalu mengunci gerbang ini. Kudorong gerbang kayu bercat putih itu dengan moncongku, tak bergerak. Kucoba lagi lebih keras dengan kedua kaki depanku. Voila! Terbukalah gerbang itu. Akhirnya, kali ini aku berhasil membukanya.

Kami menyimpan banyak kenangan di halaman belakang ini. Tak hanya kami sering bermain lempar tangkap disana, tapi akupun punya beberapa spot khusus untuk menyimpan hadiah-hadiah yang diberikan tuan dan nyonya. Kukibaskan ekorku dengan senang sambil mengitari halaman belakang. Kuingat ingat, terakhir kali kusimpan mainan favoritku di titik ini, duapuluh langkah dari pohon. Kugali, lagi, dan lagi.. seingatku aku tak menguburnya sedalam ini. Penasaran, kugali lebih dalam lagi, dan aku menemukannya. Horee… ini dia mainanku! Kukais tanah sedikit demi sedikit untuk membersihkannya, lalu kugigit dan kutarik keatas. Lho, ini tulang beneran, bukan tulang mainan hadiah dari nyonya. Ukurannya sedikit lebih panjang dari tulang mainanku. Kujilat, hmm.. rasanya aneh, ku belum pernah merasakan tulang yang seperti ini. Penasaran dengan mainan favoritku, ku kembali ke lubang tadi, dan kembali menggali. Satu demi satu kutemukan tulang-tulang lain. Tak satupun mainan, tulang asli semua.

Kumenjauh dari lubang ini, dan menyadari ada bekas galian masih baru tak jauh dari lubang yang kugali. Mungkinkan ada yang memindahkan mainanku? Kucoba menggali di lubang baru ini, dan langsung kutemukan mayat wanita yang bersama tuanku semalam. Sekarang ku tahu kemana perginya para wanita itu. Hmm.. Mungkin mainanku dikuburnya juga disini. Kusingkirkan mayat itu dan mencoba menggali lebih dalam lagi. Saking sibuknya menggali di kedalaman lubang, tak kusadari kalau tuanku sudah kembali. Saat keluar dari lubang untuk menyongsongnya, kulihat dia sudah mengarahkan senapan kearahku. Dalam detik-detik terakhir hidupku, ku yakin bahwa ku akan segera bergabung dengan tulang-tulang para wanita ini.

Ditulis pada pertemuan Reading Lights Writers' Circle (RLWC) 29 Oct 2011 dengan tema "crime"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline