Lihat ke Halaman Asli

Clash of Civilization Versi Dunia Islam

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Huntington pernah membuat  tesis Clash of Civilization tentang benturan peradaban yang tidak mungkin bisa dihentikan. Menurutnya ada 2 hal yang akan menjadi sumber utama konflik antar negara setelah PD II, yaitu budaya dan agama.

Meski teori ini mencoba dipotong oleh berbagai pihak dengan tesis dialog peradaban, tapi teori kedua ini sepertinya kurang laku. Tesis Huntington yang memetakan dunia menjadi sekian kekuatan pasca PD II, akhirnya dipakai Amerika dalam kebijakan politiknya. Kebijakan yang lahir dari rasa phobia ini diaplikasikan dengan cara ‘menyerang’ setiap pihak yang dianggap berpotensi menjadi pesaing. Dalam banyak kesempatan, teori ini akhirnya sering diperas menjadi benturan antara Barat yang diwakili Amerika vs Islam.

Sementara Amerika menyerang pihak lain demi mempertahankan hegemoninya tersebut, rupanya sebagian pihak Islam mempraktikkan teori tersebut di kalangannya sendiri. Teori Huntington dalam kasus Islam mengambil bentuk benturan antar aliran atau madzhab. Tak kalah sadis, mereka mengobarkan perang dan saling membantai saudara sendiri.

Konflik di kalangan Islam memang sudah dimulai sejak abad pertama Islam. Benih-benih mulai tampak kentara saat mendapatkan momentumnya dalam fitnah kubro yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Ustman bin Affan dan benar-benar meledak saat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Di masa Ali inilah mulai lahir berbagai aliran Islam yang kita kenal sekarang.

Jika dilacak, konflik antar aliran yang mengaku ‘Islam’ ini bermuara pada perebutan tafsir keagamaan. Antara yang pakai qunut dan tidak qunut saling gontok-gontokkan, antara yang suka ziarah kubur dan tidak ziarah saling mencap sesat. Yang mengangungkan logika dicap liberal, yang mendalami tasawuf disebut sinkretik, dan yang suka dialog antar agama distempel sebagai penganut pantheistic. Seperti itulah ketika antar mazhab saling mengklaim bahwa Islam mereka yang sah, lainnya cuma bid’ah, hiprokrit bahkan bukan lagi Islam alias kafir.

Melihat perjalanan agama Islam sudah 15 abad, maka selama itu pula konflik antar aliran ini sudah berjalan. Mengenai korban tidak usah ditanya lagi. Di awal-awal konflik saja, seperti dalam perang Jamal antara pihak Ali dengan Aisyah, sekitar 10.000 orang Islam terbunuh menurut salah satu catatan Ibnu Katsir. Ini belum berbagai peperangan yang terjadi antar kerajaan Islam. Jika ditarik kesimpulan, penghancur peradaban Islam sejatinya adalah umat Islam itu sendiri, sedangkan pihak luar hanyalah penumpang yang cerdas memanfaatkan kesempatan.

Dan masalahnya, seperti Amerika yang termakan teorinya Huntington, umat Islam di zaman modern ini juga masih saja termakan rebutan tafsir tersebut. Klaim kebenaran bahwa hanya ada satu golongan Islam yang selamat rupanya terus dipupuk dengan semangat kebencian dan ini bisa kita saksikan setiap hari melalui media massa. Islam sebagai rahmat lil alamin dipendam dalam-dalam.

Pihak-pihak yang memusuhi Islam pun memanfaatkan konflik internal tersebut untuk semakin melemahkan agama ini. Umat Islam disibukkan dengan perbedaan kecil sementara tugas besar sebagai “umat terbaik” ditinggalkan. Membangun peradaban seolah tidak ada lagi dibenak umat karena energi mereka dihabiskan untuk saling membenci. Hasilnya, sampai saat ini umat Islam masih tertinggal di segala lini kehidupan.

Membandingkan peran yang dimainkan “Barat” dalam kehidupan komtemporer, bisa dirasakan bahwa kontribusi umat muslim masih sangat kurang sekali. Produk sains dan teknologi masih dipegang dunia Barat; politik, ekonomi serta budaya juga masih dihegemoni oleh mereka.

Barangkali memang masih relevan pernyataan Muhammad Abduh bahwa ia melihat Islam di Barat meski tidak menjumpai muslim disana, dan ia menjumpai muslim di negara Islam tapi tak melihat Islam di sana. Umat Islam saya kira harus selalu merenungi keberadaannya di zaman yang semakin global ini. Umat Islam juga harus mengevaluasi perannya yang timpang dalam kehidupan modern. Berusaha memahami berbagai ihktilaf yang tidak penting, menghormati perbedaan yang niscaya dan lebih memperhatikan persamaan yang ada merupakan langkah awal menuju persatuan umat.

Tapi melihat kenyataan sekarang bahwa bangsa-bangsa Islam makin egois, akankah peradaban Islam itu bisa kembali?! Wallahu a’lam bis sawab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline