Lihat ke Halaman Asli

Manado Tenggelam, Traktor Selamat

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saya bukan asli Manado, saya pendatang dari Medan yang mencoba peruntungan di tempat ini sejak sekitar satu setangah tahun yang lalu. Sebenarnya sudah kira-kira seminggu ini setiap hari pasti hujan di Manado.  Saya kerja di sebuah perusahaan modal asing di kaki gunung Klabat, tapi saya kos di Manado.

Tapi berbeda dengan yang saya rasakan dua hari yang lalu.  Malam itu sekitar pukul 9 - 10, saya rasakan curah hujan yang turun tidak seperti biasa.  Angin begitu kuat dan petirnya membuat bulu tengkuk berdiri.  Saya lihat aplikasi cuaca di selular pintar saya.  Disitu statusnya yang tertulis: thunderstorm dengan temperatur udara tertinggi 26C.  Saya lihat ramalan untuk besok dan seterusnya.  Sampai Jumat 17 Januari 2014 besok masih sama.

Perasaan saya jelas tidak enak.  Dan mati lampu lagi.

Saya putuskan malam itu juga, sekitaran pukul 11 - 12 untuk bergerak saja ke pabrik di kaki gunung Klabat.  Saya ambil semua yang bisa dimuat di bangku depan mobil Pick Up yang biasa saya kendarai.  Beberapa potong pakaian saya masukkan di ransel.  Kemudian laptop, semua gadget (Selular dan kamera).  Tak ketinggalan 8 kotak plastik koleksi benih tanaman jualan saya.  Masih ada beberapa order yang belum saya kemas.  Dikerjakan di pabrik saja.  Oh ya... di pabrik ada semacam mass yang bisa ditempati staff senior seperti saya.  Dari rumah kayu khas Minahasa yang apik dan nyaman.

Saya beruntung bertindak cepat.  Tak saya sesali walau menerjang badai untuk mencapai Lembean (desa di kaki gunung Klabat) tempat saya bekerja.  Pohon-pohon banyak yang tumbang.  Anginnya luar biasa.

Sampai pabrik, hanya ada securiti.  Beliau saya ajak meringkuk ke rumah kayu, daripada kedinginan di pos kecil.  Tidak ada siapa-siapa di pabrik.  Kebetulan pabrik belum beroperasi karna liburan Tahun Baru.

Gelap dan hujan petir.  Kami lewati malam itu dengan tidak tidur.  Ngopi dan ngobrol saja.  Sambil was-was, soalnya rumah kayu ini juga tak henti-hentinya berderak-derak.

Keesokan harinya terdengar kabar dari pak Ello teman kerja saya yang tinggal di Winangun - Manado (kawasan sedikit di pinggiran kota yang cukup tinggi) bahwa Manado sudah lumpuh.  Longsor di banyak ruas jalan dari Amurang dan Tomohon.  Jembatan banyak yang runtuh dan beberapa kawasan sudah terendam air sampai seleher.

Pak Ello sendiri terlihat was-was.  Maklum, istrinya baru melahirkan anak pertamanya bulan Desember lalu.  Jam 9 pagi, pabrik belum beraktifitas full.  Seperti biasa saya membuat kopi untuk sarapan pagi.  Sambil ngobrol dengan pak Ello, was was menatap langit yang seperti hendak jatuh, dan hujan yang tak henti-henti serta petir yang menggelegar terus.

Telepon masuk di selular pak Ello.  Maitua (istri) beliau memanggil, katanya tembok belakang rumah mereka sudah ambrol.  Air sudah masuk ke rumah menghanyutkan apa saja.  Pak Ello terlihat panik.  Kopi belum diseruput sudah teriak teriak manggil James (supir).

Sekitar jam 9 malam baru pak James pulang dengan wajah sangat shock.  Katanya macet di Ringroad.  Macet luar biasa.  Jembatan di depan Mantos sudah rusak berat. Transportasi dialihkan semua ke Ringroad.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline