SERUPA dengan film remaja dystopian yang lain, Uglies (2024) dimulai dengan kegamangan dan kekacauan yang disebabkan oleh ketamakan manusia. Tak ada cara lain untuk menghadapi persoalan tersebut kecuali dengan konsep-konsep yang cenderung palsu atau menghadirkan kamuflase yang sarat dengan janji-janji manis, tentu dengan tujuan untuk menarik kepercayaan para remaja untuk selalu tampil glowing.
Tally (Joey King) adalah seorang remaja yang sedang mengalami masa transisi, bersama sahabatnya Peris (Chase Stokes) merencanakan operasi untuk menjadi "pretty" dan berharap bisa diterima oleh komunitas perkotaan dengan cara dan aturan baru. Dalam kota yang bernama Pretties Town, di sana berkumpullah orang yang sudah dicuci otaknya untuk setia kepada Dr Cable (Laverne Cox) yang melakukan propaganda dengan kepemimpinannya Pretties Town akan semakin hebat.
Dengan menjadi rupawan lewat operasi atas otak dan tubuhnya inilah para remaja beranggapan visi dan misi Dr Cable adalah kebenaran tak terbantah. Padahal secara nyata lewat "cuci otak" inilah para remaja kehilangan jati diri, kemampuan berpikir tajam dan menghilangkan kebersamaan serta mengedepankan persatuan yang palsu.
Dan sebagaimana cerita film action fantasi lainnya, dihadirkan tokoh bernama David (Keith Powers), pemimpin komunitas The Smoke yang menentang kebijakan Dr Cable. Peperangan pun dimulai, sekian tahun berlalu, David masih terlalu kuat untuk dikalahkan, sampai akhirnya ia mengirimkan Tally yang dijanjikan rupawan, untuk memata-matai pergerakan The Smoke dan menghancurkan dengan adu domba yang meyakinkan.
***
Genderang perang dalam Pilwakot Semarang 2024 sudah ditabuh, medan peperangan sudah terbuka lebar utamanya dalam jejaring sosial. Tak ada yang memungkiri bahwa siapa yang menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia, ujar penulis dan futurolog Alvin Toffler.
Namun yang patut dicatat adalah bagaimana mengelola informasi benar agar tidak terjebak dalam banalitas. Ekspresi komunikasi digital telah menjadi arus utama yang sudah menggeser model komunikasi tradisional, yang dalam hal ini telah menggerus kemampuan untuk mengadaptasi kehidupan modern yang mengakibatkan ketergesaan untuk sampai pada kesimpulan.
Banal dalam konsep definisi, sesuai KBBI menjelaskan tentang dangkal, kasar (tidak elok) dan biasa. Dalam konteks politik, banalitas bisa diartikan sebagai kecenderungan yang menodai proses demokrasi.
Melalui kriteria inilah seharusnya kita memahami perilaku bermedia sosial telah mencapai tahap banalitas kompleks. Di mana caci maki dan serapah adalah realitas kekinian, manusia sudah kehilangan makna menyeluruh, celakanya kebohongan, perilaku kasar, manipulatif adalah sesuatu yang lumrah hingga nilai dasar universal atas etika dan moral tak lagi ada.
Dalam karya Hannah Arendt Banality of Evil, seluruh perilaku menyimpang dalam media sosial ini sebagai ruang kejahatan moral, yang celakanya dalam nuanasa kejahatan itu dirasakan sebagai sesuatu yang biasa dan umum dalam keseharian.
Dalam konteks Pilwakot Semarang inilah, seluruh kemampuan untuk menganalisa mutlak diperlukan guna memfilter banalitas yang semakin kental, setidaknya ketika menerima informasi tak serta merta terpengaruh dengan janji-janji manis menjadi semakin hebat.