Lihat ke Halaman Asli

Menguak Gejolak Kyoto Part 1

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13973945701593154132

Kota Kyoto, sebuah kota lama yang terkenal indah dan asri. Itu di benakku dahulu, sebelum pergi berpetualang ke Nagasaki. Petualanganku ke sana demi mengejar mimpi, menjadi pendekar pedang terhebat dan terkuat.

Setelah tiga tahun berpetualang di Nagasaki, aku pun segera menginjakkan kaki di tanah kelahiran. Perasaan aneh mulai tersirat di benak tatkala melihat pos jaga disana terlihat lengang. Pemandangan yang terlihat pun terasa hening dan lengang. Terasa tak ada kehidupan sama sekali. Pos jaga pun terlihat kumuh, berdebu, dan tak terawat.

“Ada apa dengan Kyoto? Bukankah aku baru pergi selama tiga tahun? Tapi pos jaga ini terlihat sudah tua sekali. “ pikirku.

Tiba-tiba, aku mendengar bunyi sekelebat angin yang terasa berat. Segera aku melompat mundur, menghindar. Dan tak disangka, tiga buah shuriken mengarah tepat pada posisiku sebelum menghindar. Shuriken-shuriken itu hanya mendapatkan angin, lalu  menancap di tanah. Kembali dalam sekejap mata, dua buah kunai terlihat mengarah kepadaku. Segera kutangkis mereka menggunakan katana, yang segera terlepas dari sarungnya. Dengan waspada, aku melirik lingkungan sekitar.

“Siapa yang menyerangku? Jika dilihat dari serangan mereka, sepertinya mereka para ninja. Tapi, Kyoto bukannya tak memiliki ninja sama sekali? “ aku pun merasa heran dengan serangan yang terkesan tak lazim itu. Betapa tidak, tiga tahun lalu, Kyoto adalah surga bagi para pendekar pedang. Tak ada ninja sama sekali di dalam kota. Itulah kenangan yang masih teringat dalam benakku.

Kembali serangan kunai dan shuriken menyergapku. Kali ini dua kali lebih banyak dibandingkan serangan awal. Kembali kutangkis serangan jarak jauh itu. Sekelebat hitam terlihat di depanku. Hampir ia berhasil menusukku dengan kunai. Tapi, dengan cepat, tangan kiriku menghunuskan wakizashi. Terpercik bunga api saat keduanya bertemu. Aku segera meloncat mundur saat ninja kedua terlihat di udara. Dengan pakaian hitamnya yang sama dengan ninja yang hampir menusukku, ia kembali melemparkan shuriken. Kembali aku menghindari serangannya. Mereka pun kemudian berdiri, menatap mataku jauh.

“Hei, kalian! Sejak kapan kalian datang ke Kyoto?! Kalian ninja darimana? “ teriakku. Tapi mereka tidak bergeming. Kemudian, mereka membelakangiku, berancang-ancang untuk kabur. Tidaak terima diriku diperlakukan seperti ini, aku segera memburu mereka. Kejar mengejar pun terjadi. dua ninja itu saling melempar shuriken, mencoba melambatkan lariku. Tapi, aku berhasil menghindari dan menangkisnya dengan kedua senjataku. Mereka mulai kehabisan ide untuk menghalangiku. Lalu, salah satu ninja menghadapiku. Ia pun mendadak mencoba menebasku dengan ninjato. Namun, yang ia dapat hanyalah sekelebat angin. Ia pun lengah, tak menyadari kehadiranku dari belakang. Spontan kuhunuskan wakizashi melingkari lehernya.

“Aku tidak akan membunuhmu jikalau engkau melepaskan pedang dari genggamanmu, lalu memberitahukan apa yang terjadi dengan kota ini. “

Aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi selama tiga tahun di Tokyo dengan menginterogasi dirinya. Sejenak dia diam. Lalu, ia menjatuhkan pedangnya.

“Bisakah engkau melepas topengmu? “

Ia pun bergeming. Tangan kanannya merogoh tas kecil, lalu mengeluarkan sebilah pisau.

“Hentikan perbuatanmu! Apa kau mau kehilangan nyawa? “

Aku hendak mencegah perbuatannya itu. Tapi, ia tak menghiraukan perkataanku. Ia pun membalikkan mata pisau itu, mengarah tepat ke dadanya. Selain itu, mata pisau itu sudah diisi cakranya, hingga ukurannya sama panjang dengan katana.

“Sial! Rupanya dia mau mengakhiri hidupnya dengan membawaku menuju neraka! “ tak tinggal diam, aku segera meloncat mundur. Kulepaskan wakizashi seraya menjauhi sosoknya saat  mata pisau cakra itu mulai membenam ke dadanya. Hingga ia pun melakukan hara-kiri, tanpa mengikutsertakan diriku dalam maut.

“Nyaris saja, ternyata dia adalah ninja yang lebih patuh terhadap tuannya daripada nyawanya sendiri. “ batinku saat menyaksikan dia telah terbujur kaku, dengan pisau masih menancap di dadanya. Kulepaskan pisau itu, lalu membersihkan dan mengambilnya. Terakhir, aku menutup mata ninja tersebut, agar ia bisa beristirahat dengan tenang. Aku pun segera membuka topengnya, mencoba menguak tabir yang terpendam. Tak disangka, saat kulihat ia adalah perempuan.

“Ninja ini …. Perempuan?? “ mataku terbelalak. Kaget saat melihat salah satu sosok ninja ini adalah perempuan. Wajah putih mulus, dengan rambut pendek hitamnya dan berponi di depan. Aku masih diliputi keraguan. Kucoba memegang dadanya, yang terlihat rata.

“Jadi dia memang benar perempuan? “ pikirku. Aku tak habis pikir dengan tuannya yang merekrut seorang perempuan cantik seperti dia. Terbersit pemikiran bahwa mungkin saja majikannya merekrut perempuan sebagai ninja.

“Jikalau melihat ninja yang satu tadi, dengan rambut panjang yang terikat layaknya ekor tupai, apa ia juga perempuan? “

Pemikiran ini membuatku bingung. Aku pun meneruskan langkah kakiku, mencari seseorang yang bisa memuaskan rasa penasaranku pada Kyoto yang kulihat saat ini.

“Sungguh aneh. setahuku hanya para lelaki yang direkrut untuk menjadi seorang ninja. “ salah satu pernyataan berdasarkan pengalaman seolah membuatku bingung saat mengalami kejadian tadi. Aku pun terus memikirkan hal tersebut selama perjalanan. Beberapa rumah telah terlewati. Terasa bagaikan kota mati. Sepi dan lengang, hanya ada angin berhembus. Tiba-tiba terdengar jeritan minta tolong dari arah barat.

“Kyaaaaaaaaa!!! Toloonggggg!! “ aku segera bergegas menuju arah jeritan tersebut. Sesampainya disana, kulihat seorang perempuan berpakaian kimono putih sedang ditodong oleh dua ninja berpakaian hitam, yang sama persis dengan yang kutemui.

“Hei kalian! Beraninya merampok wanita yang lemah! Jika kalian berani, hadapilah aku! “ teriakku secara lantang. Dua ninja itu menoleh ke arahku. Salah seorang diantaranya segera kabur. Sedangkan temannya berhadapan denganku,sambil membawa sandera.

“Jikalau kau tak ingin perempuan ini mati, jangan ikut campur! “ bentaknya.

“Tuan, tolong aku! “ kata perempuan itu. Terdengar lirih. ia benar-benar ketakutan.

“Diam kau! “ ia pun menodongkan kunai ke arah perempuan itu. Aku tak menggubris perkataannya. Segera aku berlari menuju arahnya. Ia pun kaget, tidak percaya dengan reaksiku yang seolah mengacuhkannya. Ia pun segera menebas leher perempuan itu. Dengan cakraku, aku dapat berpindah tempat hanya sekejap mata. Membuatku seolah menghilang saat matanya terfokus pada posisiku sebelumnya. Ia tak percaya dengan pergerakanku. Merasa heran kemana aku akan melangkah, atau berpikir kalau aku kabur. Tapi itu tidak kulakukan. Segera saat ia tidak menyadari keberadaanku di belakangnya, aku segera menebas punggungnya, membuat dua sabetan membentuk huruf X. Darah pun bermuncratan.

“Uaarrrgggh. “ ninja tersebut kesakitan. Tak mampu lagi ia untuk berdiri. Ia pun roboh, bersimbah darah. Sedangkan aku berhasil menyelamatkan perempuan tersebut. Kubuka topeng yang menutupi wajahnya, dan sontak aku kembali kaget ketika ninja yang kutemui lagi-lagi perempuan.

“Siapa kau?! Untuk siapa kau bekerja?!” tanyaku kepada ninja tersebut.

Kulihat tarikan nafasnya semakin memberat, hingga seakan ia sulit berbicara. Belum sempat terjawab pertanyaanku, ia terlanjur meninggal. Aku hanya terdiam, menyaksikan detik-detik terakhir hidup ninja tersebut.

“Tuan, terima kasih engkau telah menolongku. “ ujar wanita tersebut, memecahkan kebisuanku sesaat.

“Sama-sama. Siapa namamu? “

“Namaku Furuma Airen.  Nama anda siapa, tuan? “

“Okazaki Rizuki. Panggil saja dengan nama Rizuki. Tak perlu memanggilku dengan gelar tuan, karena saya masih muda. Selain itu, aku tak terlalu suka dengan hal yang berbau formal. “ kataku sembari berbasa-basi, berusaha untuk akrab dengannya.

“Maafkan aku. Aku tak bisa membalas budi kebaikanmu saat menolongku, Rizuki-san. “

“Ah, tak apa, Airen-san. Sudah selayaknya kita untuk saling tolong-menolong. Tapi, aku meminta tolong kepadamu.”

“Apa yang bisa aku bantu untuk menolongmu, Rizuki-san.

“Airen-san, bisakah aku meminjam rumahmu untuk menginap? “

“Baiklah, aku akan mengantarkanmu ke rumah. “

Dengan tersenyum, ia pun lalu menggandeng tanganku. Berjalan kaki bersamanya seolah membuatku merasa tak enak. Entah mengapa, aku merasakan adanya perasaan suka terhadap dia. Pipiku mulai memerah saat menatap mata bulatnya. Rambut coklat panjang dan wajah putih nan bundar seakan menambah pesona kecantikkannya.

“Apakah ini yang namanya cinta? “ pikirku. Kami terus berjalan, menjauhi pusat kota. Hingga tak terasa, aku dan dia telah sampai di rumahnya. Kecil, tapi memiliki pekarangan yang luas dan asri. Ia pun menyalakan lampu. Terletak jauh dari lokasi kejadian, yang dahulu penuh dengan keramaian.

“Sebentar akan aku buatkan teh untukmu, Rizuki-san. “ ujarnya. Ia pun beranjak menuju dapur, meninggalkanku yang masih mengagumi aura kecantikkannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline