Lihat ke Halaman Asli

NurSalim ZA Lahasina

laki-laki fakir ilmu

BPJS Naik Lagi, Kesehatan Gratis Solusinya

Diperbarui: 15 Mei 2020   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NurSalim ZA Lahasina | dokpri

Hampir setahun sudah kita menyaksikan ada drama yang lebih menguras emosi dibanding drama korea. Akhir tahun 2019 tepatnya di bulan oktober Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS di semua kelas. Keputusan yang diambil ini sempat mengedarkan rasa cemas di masyarakat. Utungnya keputusan Presiden untuk menaikkan iuran BPJS melalui Perpres RI Nomor 75 Tahun 2019 itu telah dianulir oleh keputusan MA yang membatalkan Perpres tersebut. Dengan demikian sejak 27 Februari 2020 iuran BPJS dikembalikan sesuai Perpres 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan. Tidak berhenti sampai disitu, Presiden rupanya tetap kukuh dengan kebijakan untuk menaikkan iuran BPJS. Di pertengahan bulan mei 2020 ini Presiden kembali mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 perubahan kedua atas Perpres 82 Taun 2018 yang menetapkan kembali kenaikan iuran BPJS.

Seperti kita ketahui bahwa sesuai Perpres 82 Tahun 2018 besaran iuran kelas III adalah Rp25.500, kelas II Rp51.000 dan kelas I sebesar Rp80.000. Sedangkan pada Perpres 75 Tahun 2019 perubahan pertama Perpres 82/2018 disebutkan Kelas III dari Rp25.500 menjadi Rp42.000, Kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, dan kelas I Rp80.000 menjadi Rp160.000. Perpres 75 Tahun 2019 ini kemudian dibatalkan oleh putusan MA 7P/2020 dan iuran BPJS kembali pada besaran sesuai Perpres 82/2018. Terakhir keluar lagi Perpres 64 Tahun 2020 besaran iuran BPJS naik lagi, yaitu iuran kelas I dari Rp80.000 naik menjadi Rp150.000, kelas II dari dari Rp51.000 menjadi Rp100.000 berlaku mulai 1 Juli 2020, Kelas III dai Rp25.500 menjadi Rp42.000 dan selisih kenaikannya dibayarkan pemerintah. Sedangkan di tahun 2021 dan berikutnya kelas III membayar Rp35.000 karena pemerintah hanya subsidi Rp7.000.

Keputusan tersebut mendapat tanggapan yang keras dari beberapa kalangan dan asosiasi profesi yang menaruh perhatian serius pada masalah kesehatan di republik ini. Beberapa lembaga bantuan hukum pun menilai keputusan ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap hukum dan bermain-bemain dengan putusan Mahakamah Agung. Menurut mereka keputusan presiden sangat tidak menghormati putusan Mahkamah Agung. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dikutip dari laman cnnindonesia.com misalnya menilai bahwa langkah Presiden adalah bentuk pembangkangan hukum. Dalam putusan MA 7P/2020 menurut mereka, terdapat kaidah hukum yang dinyatakan hakim agung bahwa kebijakan menaikan iuran BPJS melanggar hukum sebab tidak didasarkan pada pertimbangan yang memadai dari segi yuridis, sosiologis, dan filosofis. 

Hal serupa disebutkan pula oleh peneliti dari Lokataru, pihaknya menilai bahwa pemerintah sedang mempermainkan warga dengan kenaikan iuran BPJS kesehatan ini. Menurutnya, hal terpenting yang seharusnya diperbaiki adalah manajemen dari BPJS bukan menaikkan iuran BPJS untuk menutup defisit BPJS. Jika membaca keterangan jubir Mahkamah agung atas Penerbitan Perpres 64 Tahun 2020 yang enggan mencampuri hal tersebut. Ini juga menunjukkan Negara tidak peduli pada pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat di situasi pandmei covid-19. Kebijakan ini justru memberatkan rakyat di tengah perjuangan melawan covid-19. Ditambah lagi kemampuan masyarakat untuk membayar di masa ini harusnya diperhitungkan.

Pemerintah selalu beralasan untuk menghindari defisit anggaran solusinya adalah kenaikan iuran. Padahal KPK sendiri sebagai lembaga anti rasua yang memiliki sumber daya manusia yang handal untuk melakukan penilaian, penyelidikan dan pengawasan terhadap keuangan lembaga penyelenggara Negara telah melakukan kajian yang berkaitan dengan BPJS. Maret 2020 ini seperti dilansir oleh tribunnews.com mereka sempat menyampaikan hasil kajiannya itu kepada Presiden. Di antara beberapa rekomendasinya itu adalah melakukan penertiban rumah sakit, kebijakan urun biaya dan selisih biaya agar segera diimplementasikan, pedomana nasional praktik kedokteran untuk seluruh jenis penyakit yang diperlukan, akselerasi kebijakan coordination of Benefit pada asuransi swasta agar segera dilaksanakan. Tidak pernah KPK memberikan usulan untuk menaikkan iuran BPJS. 

Hal yang hamper senada juga disampaikan beberapa lembaga kajian ekonomi nasional. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad pada laman detik.com menganggap bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah hal normal namun dilakukan sesuai dengan perkembangan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, serta dilakukan secara bertahap sehingga tidak memberatkan. Apalagi menurutnya momen ini sangatlah tidak tepat di tengah menurunya daya beli masyarakat. Bersamaan dengan itu pula Abdullah Direktur Riset Center of Reform Economics (Core) Indonesia juga menyebut bahwa kenaikan iuran ini sangat tidak tepat. Namun menurutnya kalau masyarakat tidak kuat bayar bisa turun kelas III. 

Dari beberapa drama yang telah tersaji di atas. Masyarakat seperti dipaksa untuk menikmati sajian adegan para pemangku kebijakan di negeri ini. Naiknya iuran BPJS ini semakin menyajikan fakta kepada kita bahwa Negara belum sepenuhnya hadir memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat di tengah mewabahnya pandemi ini. Seharusnya pemerintah berpikir bahwa kondisi hari ini masyarakat sedang serba sulit. Ekonomi terpuruk dan setelah pandemi masyarakat belum tentu secepat itu untuk memperbaiki kondisi ekonominya.

Padahal sebelumnya Pemerintah begitu getol melakukan refocusing dan realokasi anggaran di sejumlah lini untuk menyatukan tujuan perang pada covid-19 ini. Pemerintah dalam keputusannya bahkan memprioritaskan dua sektor yang tidak boleh diganggu gugat dalam upaya itu, yaitu pelayanan pendidikan dan kesehatan. Saat ini covid-19 belumlah usai, ekonomi belum membaik, situasi social belum sepenuhnya normal. Semestinya masyarakat jangan ditambah lagi bebannya dengan naiknya iuran BPJS. Dipastikan bahwa mereka yang tadinya memiliki kemampuan untuk membayar iuran BPJS merasakan kondisi terjepit semanjak adanya covid-19 ini.

Stimulus penguatan ekonomi dan daya beli keluarga yang diberikan pemerintah belum sepenuhnya diterima dan hal itu diperuntukkan untuk pertahanan bukan untuk menambah pengelurana pada hal yang lain. Bantuan Langsung Tunai misalnya yang diperuntukkan bukan hanya untuk warga miskin tetapi juga warga yang terdampak ekonominya yang selama ini menikmati fasilitas pelayanan kesehatan di kelas II. Dengan naiknya iuran BPJS maka mereka yang misalnya memiliki anak 3 orang atau lebih, meski menerima Bantuan Langsung Tunai tidak akan memberikan nilai tambah karena mereka harus merogoh kantong sebesar 500 ribu per bulan bahkan lebih untuk membayar iuran yang telah naik kembali. Di sisi inilah sebenarnya pemerintah harus lebih jeli melihatnya.

Lalu bagaimana dengan daerah yang juga sejak kewajiban berintegrasi dengan BPJS sudah merasakan sulitnya keuangan daerah karena beban PBI yang besar, tentu semakin terbebani dengan jumlah iuran yang harus mereka bayarkan kepada BPJS. Hal ini akan semakin memperbesar uang pemerintah daerah yang harus dialihkan ke BPJS. Naiknya iuran pasti menaikkan jumlah uang yang harus dikeluarkan daerah pada pembayaran Peserta PBI.

Di sisi lain, masalah dalam penerimaan manfaat pelayanan kesehatan yang dilakukan BPJS juga memiliki keterbatasan. Tidak semua fasilitas kesehatan, jenis pelayanan, penyakit maupun obat tertanggung oleh layanan BPJS.. Sehingga resiko kesehatan masih tetap ada. Hal tersebut yang selama ini dialami oleh masyarakat kecil terutama di wilayah wilayah yang cukup jauh dari ibukota.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline