Lihat ke Halaman Asli

Demi Perut!!Pertahankan Lumbung Pangan dengan 9 Triliun Rupiah

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1328667024352505235

Makanan pokok mayoritas orang Indonesia itu nasi dan semua orang sudah pada tahu tentang fakta tersebut. Namun banyak sawah di Pulau Jawa dan Bali beralih fungsi saat ini, menjadi: perumahan, hotel, villa, kondominium dan pabrik. Sedangkan di luar Jawa dan Bali --- semisal Sumatera ---  sawah berubah menjadi perkebunan sawit yang dianggap lebih menguntungkan. Tentu itu semua berdampak pada lumbung ketahanan pangan nasional, di mana kita sebagai negara agraris harus meng-impor beras dari negara Asia lainnya.Vietnam, Thailand dan juga India menjadi toko langganan kita untuk memenuhi stok pangan nasional. Swasembada beras yang dulu pernah kita rasakan sudah tidak tersisa bekasnya, seiring rontoknya rezim Orde Baru. Untuk mengembalikan supremasi sebagai negara agraris dan kemampuan ber-swasembada beras maka ada beberapa program yang telah dijalankan oleh pemerintah, baik melalui kajian ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan ataupun kebijakan daerah dan pusat. Di banyak daerah terutama Pulau Jawa dan Bali, lahan persawahan banyak berubah dan beralih fungsi menjadi perumahan dan sejenisnya. Hal ini diperparah dengan penanaman Kelapa Sawit pada lahan persawahan yang masih produktif di luar Pulau Jawa dan Bali. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pengurangan luas sawah terlihat dari perbandingan luas lahan baku tahun 2002 yang masih mencapai 7.748.840 hektar dan tahun 2011 yang tinggal 6.758.840 hektar. Ada penyusutan sekitar 990.000 hektar pada kurun waktu 9 tahun atau penyusutan 110.000 hektar tiap tahunnya. Maka dibutuhkan lahan pengganti seluas lahan persawahan yang beralih fungsi tadi. Oleh sebab itu  pemerintah lewat tiga BUMN: PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), PT Pertani, dan PT Sanghyang Sri(SHS) berencana mencetak 100.000 hektar lahan sawah baru di Kalimantan Timur. Sekitar 9 triliun rupiah dana yang akan digelontorkan untuk investasi lahan sawah baru (Antara News). Ini langkah pertama. Langkah kedua, pemerintah lagi semangat-semangatnya menciptakan padi bervarietas unggul. Padi yang menghasilkan beras lebih banyak tiap hektarnya, padi yang tahan hama dan tentu padi yang memiliki kualitas rasa yang tinggi. Galur Padi Gogo nama varietas unggul tersebut. Varietas padi yang dikembangkan oleh Dr. Enung Mulyaningshih, M. Si dari Pusat Penelitian (P2) Bioteknologi LIPI. Galur Padi Gogo bisa menghasilkan rata-rata 8,4 ton/ hektar, jauh melampaui prestasi yang dihasilkan oleh varietas padi lainnya, seperti padi Bestari hasil penelitian Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang tidak tahan terhadap serangan wereng (Antara) dan hasil produksinya yang tidak sampai menumbus angka 8 ton / Ha. Di samping mampu menghasilkan 8,4 ton per hektarnya, padi ini mampu beradaptasi dengan kekeringan, tahan terhadap serangan penyakit blas dan juga keracunan aluminum. (Biotek LIPI) Ketiga, memasyarakatkan makanan pokok selain padi atau nasi. Kentang, jagung atau umbi-umbian merupakan makanan pokok alternatif selain beras. Seperti yang dilakukan oleh Pemkot Depok yang melaksanakan program One Day No Rice tiap hari selasa di lingkungan kantor pemerintahan daerah. Sebuah langkah yang memang patut dicontoh oleh daerah lain. Bisa karena biasa bukan? Meskipun banyak tantangan akan program ini. Padahal jauh hari program ini sudah mengemuka di beberapa daerah meskipun ada yang hanya menjadi wacana semata. Semisal Pemkot Bandung yang mengkampanyekan program One Day No Rice pada bulan Mai tahun lalu dan Pemkot Tomohon pada tahun yang sama.

Bila lahan persawahan sudah terbentang luas. Padi yang akan ditanam memiliki kualitas nomer satu, namun semua itu akan percuma bila tidak ada petani yang menggarapnya.

Di Bali, petani harus didatangkan dari Lombok dan Jawa untuk mengolah persawahan yang ada di pulau dengan seribu pura tersebut. SMK - SMK Pertanian yang hanya ada 5 sekolah di Bali juga sangat sepi peminat yang tentunya bila ini dibiarkan maka bisa dipastikan nanti kedepannya bangsa ini --- tidak hanya di Bali --- di samping meng-impor beras juga sekalian mengimpor petani dari negara lain (Bali Post). Ironis sekali. Langkah keempat tentunya berkaitan dengan pendidikan. Bagaimana pemerintah membuat program-program pendidikan yang mampu menarik minat anak muda untuk bertani: Beasiswa, pendidik yang berkualitas, sarana dan prasarana penunjang yang moderen. Karena apa yang terjadi saat ini, persawahan hanya digarap oleh generasi petani tua. Sudah saatnya regenerasi dengan anak muda yang tidak canggung untuk "bermain" di sawah. [caption id="attachment_2267" align="aligncenter" width="614" caption="Petani & Sawah, Dekat Ayung Rafting (to2society)"][/caption] Empat langkah di atas semoga bisa menjadikan Indonesia kembali berjaya sebagai negara penghasil beras kualitas nomer satu dan tentunya memperkuat lumbung pangan nasional. Dan satu lagi yang terpenting... jangan lupakan kemakmuran para petani. Hargai profesi ini dengan harga yang wajar. Pemerintah punya kewajiban untuk melindungi kesejahteraan petani dari para tengkulak dan spekulan yang hanya mencari kenyang buat perutnya sendiri. Yuk pertahankan lumbung pangan nasional dengan cara yang elegan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline