Lihat ke Halaman Asli

Kisah Para Penjaga Menara Suar (#2)

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di saat mata mereka yang berada di daratan utama terlelap pulas. Di saat jam biologis manusia memerintahkan untuk tidur, namun semua itu tidak berlaku untuk mereka – mereka yang mempunyai tugas 24 jam. Termasuk mereka para penjaga lampu suar teman setia lautan. Saat gelap gulita menerpa lautan dan gemuruh debur ombat seakan menantang nyali, mereka para penjaga menara suar harus bersiaga untuk memastikan lampu suar bekerja sebagaimana mestinya. Lampu tidak boleh padam dan tanggung jawab itu ada di pundak ringkih mereka. Pundak – pundak ringkih tempat bersandar ratusan nyawa nelayan dan puluhan kapal yang harus mereka pandu agar selamat bertemu daratan dan melepas rindu dengan keluarganya. Terkadang kerinduan itu jualah yang menguatkan bathin para penjaga mercusuar untuk segera bertemu dan berkumpul dengan keluarganya di daratan. Entah berapa bulan lagi……. Kisah Penjaga Menara Suar Pulau Pelepas. Sudah sembilan bulan Misda dan Kusnoto (50 thn) berjaga di menara suar yang terletak di Pulau Pelepas. Pulau yang terletak 20 menit dari Pulau Nangka Besar. Selama itu pula mereka sangat akrab dengan yang namanya mie instan. Mie yang merupakan jatah bulanan mereka bersama beras. Mie yang menjadi lauk pokok selama ini. “To……….!” “Yo…ada apa Mis?” Kusnoto yang lagi asyik membetulkan mesin genset menoleh ke arah Misda. “Kiriman logistik sudah datang kan?” “Beres sayang….seperti biasa lengkap jumlahnya. 18 kilo beras dan 2 dus mie instang alias ada 50 bungkus. Jadi sampeyan satu dus dan saya jatahnya satu dus juga. Demikian laporannya sayang” canda Kusnoto. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Pulau Pelepas terletak 20 menit dari Pulau Nangka Besar (dalam lingkaran merah)"][/caption] Memang di pulau yang sepi ini Kusnoto dan Misda bagaikan sepasang kekasih yang berbulan madu. Entah bulan madu apa terpenjara, sebab dalam keseharian mereka berdua saja yang selalu bertemu dan bercengkrama. Sangat jarang melibatkan orang lain. Berbeda dengan rekan-rekan mereka yang berjaga di Pulau Lengkuas yang ramai dengan wisatawan. Pulau Pelepas — Pulau Nangka nama dalam peta navigasi — memang sangat jarang sekali dikunjungi wisatawan. Di samping letaknya yang cukup jauh dari daratan utama juga letak pulau yang berada di laut lepas. Sehingga ombak menuju Pulau Pelepas ini cukup besar. Hanya nelayan saja yang sering melintas dan beristirahat di pulau tersebut.

Dengan jatah 18 kilogram beras dan 50 bungkus mie instant untuk persediaan selama 3 bulan membuat mereka berdua harus pintar-pintar berhemat. Boros sama dengan kelaparan.

Beruntung Pulau Pelepas atau Pulau Lampu — karena ada cahaya lampu dari mercusuar kuno peninggalan Belanda — memiliki barisan pohon kelapa. Sehingga saat berbuah, buah kelapa muda bisa dijadikan mata uang guna bertukar dengan nelayan yang beristirahat di Pulau Pelepas dengan beberapa ikan yang mereka tangkap. “Tidak mungkin makan mie instan terus menerus selama 3 bulan. Bisa keriting tuh usus dan lambung.” Mungkin itu pikir Kusnanto dan Misda. Hal – hal kecil seperti itu yang sering luput dari pemerintah, khususnya Departemen Perhubungan (petugas jaga mercusuar berada di bawah naungan Kementrian Perhubungan) . Sangatlah tidak sehat memberi bekal mie instan saja selama mereka bertugas. Faktor gizi sangatlah tidak tercukupi, apalagi dibandingkan dengan tugas mereka yang harus siaga 24 jam. Durasi tugas mereka berlangsung selama 6 bulan hingga satu tahun. Dan saat ini sudah bulan ke sembilan buat mereka berdua dengan setia menjaga menara suar di Pulau Pelepas. “Ngomong-ngomong Mis… sebulan lagi kita bakal rotasi dengan petugas lainnya. Akhirnya bisa ngumpul bareng keluarga nih! Kangen sama masakan istri saya.” raut muka Kusnanto terlihat cerah. “Iya Kus! Sama….. saya juga kangen makan yang benar. Masak makan mie rebus, mie goreng melulu! Dan satu lagi….akhirnya kita tidak jadi maho di pulau ini..hahahahaha!!!!” Misda tertawa sambil memegang perut tambunnya. “Lha iya..siapa juga yang mau dapat pasangan kayak lo Mis. Semoga istrimu diberi kesabaran ya?” “Hahahahahaha!!!” tawa mereka berdua menggelegar bersaing dengan debur ombak siang hari yang tidak terlalu kencang. Tawa mereka diam-diam diperhatikan oleh sorot tajam dari lampu mercusuar kuno buatan tahun 1893. Mercusuar itupun tersenyum merasakan aura kebahagiaan dari dua sahabat selama sembilan bulan terakhir ini.

---------------

Dua kisah ini: Kisah Para Penjaga Menara Suar bagian  1 dan 2 saya angkat berdasarkan cerita nyata yang dimuat oleh Bangka Pos dalam liputannya tentang ‘Penjaga Menara Suar di Pulau – Pulau Luar’ yang banyak mengelilingi Provinsi Bangka Belitung. Tentunya tulisan dalam dua kisah tersebut tidak sama persis, dan kejadian-kejadian seperti Tohir yang sakit ataupun percakapan yang terjadi, semua adalah hasil imajinasi penulis. Namun data – data dalam percakapan dan lainnya adalah benar adanya. Kisah ini hanyalah sedikit atau bagian kecil dari sekian banyak lika-liku penjaga mercusuar yang tersebar di Indonesia. Masih banyak kisah-kisah yang lebih menyentuh yang kita sendiri banyak yang belum mengetahui karena memang tidak terpublish di media massa tanah air. Semoga dua kisah ini mampu menjadi gambaran dan penggugah generasi muda untuk sadar betapa pentingnya tugas-tugas mereka yang sering terlupa yang terlihat sepele. Semisal: penjaga perlintasan kereta api, penyapu jalan, pemulung di TPA-TPA, pemantau air di pintu-pintu air dan banyak lagi petugas-petugas yang sering terlupa. Berita aslinya di sini : Bangkapos

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline