Lihat ke Halaman Asli

TotoSofiSimbahwirasapu

Penyuluh Agama Islam dan Pengurus Pondok Pesantren

prinsip dasar pencegahan stunting dalam islam

Diperbarui: 22 Agustus 2024   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Stunting atau hambatan tumbuh kembang anak, bukan hanya isu kesehatan semata yang dapat dipisahkan dari pesan-pesan agama namun menjadi isu sekaligus tentangan bersama untuk mencari solusi penanganan. Dalam perspektif Islam, menjaga kualitas keturunan dan upaya mendorong percepatan penurunan stunting adalah langkah-langkah mulia untuk mengimplementasikan maqashid asy-syari'ah (tujuan-tujuan syariat Islam), terutama hifdh an-nafs (perlindungan jiwa), hifdh al-'aql (perlindungan akal), dan hifdh an-nasl (perlindungan keturunan), sehingga menjadi bagian dari ibadah yang harus diamalkan dan didakwahkan kepada masyarakat.

Berkaitan menjaga dan merawat kualitas anak, secara prinsip Al Qur'an telah memberikan pedoman terutama hingga masa penyusuan. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

"Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Baqarah :233)

Ayat ini menyampaikan tentang pentingnya pemberian ASI (Air Susu Ibu), termasuk sebagai upaya mencegah stunting pada anak-anak. Ayat menegaskan bahwa ibu harus memberikan ASI kepada anak-anak mereka selama dua tahun penuh, kecuali jika ada alasan-alasan tertentu yang menghalangi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ASI dalam memberikan nutrisi yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan, ayat ini merupakan rangkaian pembicaraan tentang keluarga. Ayat memerintahkan dengan sangat kuat kepada para ibu agar menyusukan anak-anaknya. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat, Lentera Hati: 2002], jilid I, halaman 503). 

"Kata al-walidat dalam penggunaan Al-Qur'an berbeda dengan kata "ummahat" yang merupakan bentuk jamak dari kata -al-umm. Kata ummaht digunakan untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedang kata al-walidat maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan (ibu sambung). Ini berarti bahwa Al-Qur'an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung maupun bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun demikian, tentunya air susu ibu kandung lebih baik dari selainnya. Dengan menyusu pada ibu kandung, anak merasa lebih tenteram, sebab menurut penelitian ilmuan, ketika itu bayi mendengar suara detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak dalam perut. Detak jantung itu berbeda antara seorang wanita dengan wanita yang lain. Sejak kelahiran hingga dua tahun penuh, para ibu diperintahkan untuk menyusukan anak-anaknya. Dua tahun adalah batas maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Di sisi lain, bilangan itu juga mengisyaratkan bahwa yang menyusu setelah usia tersebut bukanlah penyusuan yang mempunyai dampak hukum yang mengakibatkan anak yang disusui berstatus sama dalam sejumlah hal dengan anak kandung yang menyusunya." (Quraish Shihab, I/304).

Imam Al-Baghawi dalam kitab Ma'alimut Tanzil mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan perintah para ibu untuk menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh. Perintah ini adalah anjuran, bukan kewajiban mutlak. Meski begitu, ibu kandung lebih berhak untuk menyusui anaknya daripada orang lain. Lama waktu menyusui adalah dua tahun penuh.
Berikut keterangan Imam Al-Baghawi:

"Kata "Yurdi'na" adalah kalam khabar yang mengandung makna perintah, namun bukan perintah wajib, melainkan perintah anjuran (istihbab). Hal ini dikarenakan perempuan tidak diwajibkan untuk menyusui anaknya jika ada orang lain yang bisa menyusui. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat At-Thalaq ayat 6: "Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka". Jika seorang ibu ingin menyusui anaknya, maka dia lebih berhak daripada orang lain. Lamanya waktu menyusui adalah dua tahun penuh, yaitu dua puluh empat bulan. Kata "kamilain" (penuh) disebutkan untuk menegaskan, seperti firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 196: "Itulah sepuluh yang sempurna". Ada juga yang mengatakan bahwa kata "kamilain" digunakan karena orang Arab biasa menyebut sebagian tahun sebagai "haul" (tahun) dan sebagian bulan sebagai "syahr" (bulan)."  (Al-Baghawi, Ma'alimut Tanzil, [Beirut, Dar Ihya-it Turats: 1420 H], jilid I, halaman 312).

Masa penyusuan tidak harus selalu 24 bulan. Karena dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 dinyatakan bahwa masa kehamilan dan penyusuan adalah 30 bulan. Ini berarti, jika janin dikandung selama sembilan bulan maka penyusuannya selama 21 bulan, sedangkan jika dikandung hanya enam bulan, maka ketika itu masa penyusuannya adalah 24 bulan.
Ayat ini juga mengajarkan bahwa kedua orang tua bertanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan anak, terutama dalam memenuhi kebutuhan fisik mereka. Salah satu aspek penting dari kesejahteraan anak adalah pemberian ASI. Ayat tersebut secara khusus menyebutkan, ibu dianjurkan untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh dengan penuh perhatian. Di samping itu, ayah juga memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak dan istri dengan cara yang baik dan sesuai dengan syariat agar terwujud keluarga yang sehat kuat lahir batin.

Berbicara generasi yang kuat, Allah juga sudah memberikan "warning" agar kita khawatir serta melakukan tindakan preventif agar tidak meninggalkan generasi yang lemah sebagaimana firmanNya dalam Surat An-Nisa ayat 9:


     

 "Hendaklah takut orang-orang yang andaikan meninggalkan keturunan yang lemah di belakang (kematian) mereka maka mereka mengkhawatirkannya; maka hendaklah mereka juga takut kepada Allah (dalam urusan anak yatim orang lain), dan hendaklah mereka berkata dengan perkataan yang benar (kepada orang lain yang sedang akan meninggal)."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline