Mari melanjutkan malam dengan segudang angan yang terus tersulut. Seakan tiap inci kehidupan sesalu mengandung unsur masalah. Ketika agama yang harusnya mendamaikan, disalah artikan menjadi kekerasan. Yang harusnya mencerdaskan, malahan hanya mengumbar kebohongan belaka. Jangan-janga mereka memang telah dipasangi kacamata kuda. Atau memang lambat laun semua akan seperti itu?
Bagiku agama adalah semacam pintu masuk saja. Perkara apa yang dilakukan setelah masuk, terserah. Asal tidak merugikan orang lain. Surga atau neraka urusan kelak dan masing-masing. Bukankah kita sama-sama tidak tahu pasti kebenarannya. Hanya yang pasti adalah kita sekarang berada di panggung dunia yang pelik. Maka, tidak usah menunggu mati untuk melakukan sebuah kebaikan.
Tidakkah ada yang mau sedikit berpikir realistis, ketika catatan sejarah menunjukan sebuah gejala. Miskin, perang, dan segala hal yang seharusnya tidak ada di raup bumi ini, tak pernah sirna. Bagi yang ngakunya beragama, dalam kitab yang disucikan masing-masing agama sudah terpapar jelas. Tuhan adalah urusan tiap hati dengan Tuhannya. Bukan lantas kehendak yang harus dipaksakan. Karena kebenaran sifatnya hanya nisbi.
Dan kompleksitas jejak ruang dan waktu memaksa kita memasuki sebuah kondisi dan situasi yang berbeda. Dimana kebenaran akan selalu diuji untuk menyiasati persoalan yang ada. Dan sifatnya selalu berubah. Benar untuk saat ini belum tentu benar untuk nanti. Bukankah bagiku agamaku, dan bagimu agamamu? Jangan dipertentangkan lagi.
Tiap orang adalah pemikir. Karena dianugrahi akal pikir, tapi bagi yang mau. Yang tidak menggunakan pikirannya, maka tidak pernah akan maju. Dan isi pembicarannya akan selalu dikungkung sesuatu yang dinamai tabu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H