Lihat ke Halaman Asli

Bisa Saja

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jangan berharap penghargaan dari orang lain. Karena pnghargaan sesungguhnya datang dari diri dan untuk diri sendiri. Harusnya kalimat ini saya sematkan di akhir tulisan. Setelah saya nerocos panjang lebar terkait hal itu.

Sialnya, kenapa harus Gie, bukan yang lain. Haruskah saya menyutradarai kematian seseorang aktifis. Lalu saya berpura-pura mengungkapkan isi-isi pikirannya yang begitu tajam atas segala yang terjadi sekarang. Padahal itu semua adalah pikiranku sendiri. Yang pastinya tidak akan membawa nama saya timbul kepermukaan sebelum ajal menjemput.

Bukankah begitu! Ada beberapa nama yang bagi saya begitu menginspirasi, sayangnya nama itu benar saja tinggalah nama. Dan itu memang nyata. Saya benar-benar jengkel jika harus diminta untuk menyebutkan contoh dari nama-nama itu. Yang sebenarnya sudah jamak kita ketahui.

Kebiasaan manja bikin kita lupa, bahwa kita yang harus bertanggung jawab pada negri ini sebentar lagi. Bahka harusnya sudah kita miliki sejak sekarang. Tapi apa daya, meski gembar-gembor sana-sini bilang “Pemuda adalah generasi penerus bangsa,” bohong belaka. Nyatanya masih sedikit orang-orang yang sudah bau tanah itu mengakui kreativitas ide para pemudannya. Malahan dianggap irasional dan sedikit sinting.

Beberapa lama saya bergaul dengan orang-orang sepemikiran serupa. Tapi apa daya, saya dan mereka tak diberi sedikitpun ruang untuk berkreasi. “Biar saja, aku tidak peduli pada yang namanya negri ini. Toh negri ini juga tak tahu saat perutku dililit lapar. Biar. Biar saja ini jadi rebutan para rakus yang mengatasnamakan orang banyak.”

Bukankah sebuah kebodohan besar. Para pakar bahkan profesor ahli tatanegara harus berpangku tangan di balik dinding ruang kerjanya menyaksikan negri ini dipermainkan segerombolan dungu yang rakus. Juga pakar-pakar ekonomi yang hanya berbusa-busa nerocos tentang inflasi dan apapun di kelas-kelas.

Saya pernah berpikir jahat. Sejahat-jahat diri saya. Ketika saya diberi selebaran tentang sekolah akademi kebidanan di Bodowoso. Biaya keseluruhan hingga lulus sekitar 31 juta. Lulusan dijamin kerja. Saya berpikir, saya aka datang ke sekolah itu. Lalu saya akan bertanya, “Apa betul setelah lulus dari sekolah ini, saya dijamin dapat kerja?”

Melihat selebaran yang saya pegang, tentu mereka orang akademi akan menjawab “iya.” Oke kalau begitu. Lalu saya akan menceritakan kondisi saya yang sekarang. Tidak punya uang sedikitpun, namun ingin sekolah biar bisa kerja dapat uang.

Lalu saya berencana mendaftar di akademi ini. Untuk biayanya akan saya bayar ketika saya sudah lulus dan dapat kerja nanti. “Gimana?” mungkin saya dianggap orang gila yang akan segera ditendang keluar oleh satpam.

Apa mereka buta atau sengaja memakai kacamata kuda. Ketika kecerdasan mereka diakui secara legal dengan sertifikat asli. Dengan title nama yang kian panjang. Nyatanya bagiku, tetap saja mereka tolol. Tidak bisa memberikan jaminan atas apa yang mereka lakukan. Ibarat produsan penghasil sepatu. Ketika sepatu sudah overload di lapangan, apa sepatu itu akan tetap berguna? Yang terjadi hanya penumpukan yang kian lama akan menyesaki tempat. Nah, apa yang terjadi bila itu nyata berlaku pada manusia kita sekarang?

Lihat, lihat contoh tolol itu. Betapa jahat. Siapa yang jahat, aku atau mereka, atau mereka yang membikin aku jadi jahat? Ya, itu satu contoh dari banyak hal yang semakin salah kaprah. Makannya, saya kian malas ketika harus menatap masa depan itu sendirian.

Menyaksikan pengemis berkeliaran di mana-mana, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Melihat para pejabat yang ngakunya wakil rakyat, dengan enteng bicara soal kemiskinan yang terus menurun dengan jas berdasi mewahnya. Fasilitas yang kurang ini itu, gaji yang terus naik. Jamput!!!

Untungnya saya tida dikaruniai kemampuan superman. Bisa-bisa saya lempar ke Etiopia seluruh pejabat negri ini. Biar bias merasakan yang seharusnya mereka dapatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline