Situasi yang panas sepanjang terjadinya demonstrasi mahasiswa beberapa hari yang lalu memunculkan banyak hal menarik. Satu diantaranya adalah dialog seru antara Prof. Pebrianov dan mBak Leya Cattleya di sini. Masing-masing orang hebat ini berpegang pada sudut pandangnya.
Terutama soal kata "tembak" bagi demonstan yang bertindak melebihi batas intelektualitas (saya enggan memakai istilah anarkhis atau rusuh dan sejenisnya) baik dari jenis air (water canon) , gas air mata maupun senjata yang entah isinya peluru karet atau yang lain.
Dialog yang sangat konstruktif karena masing-masing telah memberi garis tegas yang menurut saya cukup sulit untuk dijembatani di blog keroyokan yang kita huni ini, Kompasiana. Semacam garis demarkasi intelektual yang sarat "pemikiran tingkat dewa". Bukan kelas saya untuk memasukinya. He...he..
Apa yang dapat saya petik dari diskusi itu ? Pertama, soal sumber utama masalah yakni keputusan pemimpin politik dan dampaknya. Politik sebagaimana pengetahuan umum adalah daerah abu-abu yang tidak mudah dikategorikan antara sisi hitam dan putih-nya.
Menjadi pemimpin adalah fitrah manusia, tapi mencapai situasi dan kondisi tertentu adalah soal usaha, pencapaian dan "nasib". Jokowi, dalam hal ini, adalah mahluk politik yang di dalamnya banyak kepentingan: diri, para pendukung dan lainnya (maaf belum mampu mengidentifikasi).
Sebagai pribadi, ia adalah orang bisa dan luar biasa. Yang biasa karena seperti kebanyakan manusia Indonesia, ia masih makan nasi dan berbaju batik misalnya.
Yang luar biasa karena jadi pemimpin politik di negara yang berbhineka untuk selalu (wajib) berusaha mewujudkan "tunggal ika"-nya. Negara Indonesia yang menyatakan merdeka atas nama bangsanya. Kali ini "nasib" sedang tidak berpihak kepada Jokowi.
Kedua, soal aksi dan reaksi. Aksi mahasiswa muncul dalam demonstrasi massif adalah sebagai reaksi atas sikap "aneh" DPR RI yang mengundang respon penolakan dari banyak kalangan.
Terutama mahasiswa yang selama ini senantiasa diposisikan sebagai pihak "penyeimbang kekuatan" ketika pemerintah dianggap tidak lagi mampu mewakili kepentingan negara demokratis. Menerjunkan Kepolisian Negara dalam jumlah sangat besar dan bersenjata lengkap. Reaksi yang dianggap oleh banyak pihak sebagai hal berlebihan.
Demonstrasi atau unjuk rasa atau apapun namanya adalah hal biasa dalam negara demokratis. Yang menjadi luar biasa adalah ketika aksi dijalankan menimbulkan reaksi beragam kerusakan.
Tingkat kerusakan yang paling membuat miris tentu moral karena berdampak jangka panjang dalam peradaban manusia. Sementara itu, standar moral itu berbeda (biasanya) dengan standar formal.