Pada Bagian 1 telah disinggung sekilas tentang makna kesukarelaan dan sukarelawan PMI dalam perspektif berbeda. Pemaknaan yang acapkali menyebabkan perlakuan berbeda pula.
***
Saya memaknai kesukarelaan sebagai hal yang didorong oleh rasa suka, senang, gembira untuk melakukan suatu perbuatan (membantu sesama yang membutuhkan kemampuan diri) dengan rela, ikhlas tanpa tendensi transaksional atau finansial. Energi utama kesempatan dan kesehatan jiwa - raga. Senada dengan motivasi para Petugas PMI di jaman Perang Kemerdekaan dengan irama beragam. Kadang-kadang lembut mendayu-dayu, kali lain harus bergerak cepat dan "keras". Karena situasi yang dihadapi berbeda-beda. Saat menghadapi korban bencana tentunya berbeda sikap dari kala berhadapan dengan politisi songong.
Kesukarelaan memang sebaiknya dilandasi niat ikhlas, hanya berharap balasan dari Sang Mahakaya. Dengan demikian tak ada beban apapun ketika harus tidur beratap lain di lokasi tertentu. Atau membiarkan sistem pencernaan bekerja secara sempurna saat mendapati mi instan remas berkuah air hujan karena faktor situasional.
Memaknai kesukarelaan bukan berarti tanpa pamrih. Setiap saat melakukan diseminasi (penyebar-luasan gagasan pokok, visi maupun misi) Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang biasa disebut Gerakan , kata pamrih harus dimaknai secara kontekstual. Tidak bermotif finansial atau transaksional itu sudah sangat jelas. Tetapi, untuk membangun jejaring dan kaderisasi misalnya, pamrih itu perlu dipertimbangkan dengan saksama. Karena kesempatan seperti itu tidak setiap saat ada. Inilah fakta dalam irama (dinamika) kehidupan.
Banyak hal istimewa yang bisa kita peroleh ketika menjadi relawan kemanusiaan. Mengenal beragam karakter manusia, mengenal orang dan lingkungan baru serta mendapat bahan pelajaran kehidupan sosial, budaya maupun ekonomi setempat. Juga ilmu-ilmu pengetahuan secara gratis dari sumber-sumber kompeten baik dari dalam maupun luar negeri. Hanya bermodal keberanian bertanya dan Bahasa Inggris ala kadarnya.
Sementara itu, kita juga dapat berbagi pengalaman sekecil apapun. Sekadar contoh, untuk membantu pemulihan kondisi kejiwaan anak-anak korban bencana alam misalnya, kita cukup melakukan trauma healing semisal dengan bermain, belajar mengungkapkan rasa dan sebagainya. Sedangkan di dalam situasi konflik bersenjata, proses pemulihan trauma sebaiknya dilakukan dengan pendekatan Program Dukungan Psikologis atau Psikososial (PSP) karena beda porsi. Contoh terakhir adalah hasil dari "pamrih" belajar gratis dan manfaatnya sepanjang hayat di kandung badan. Pamrih tadi nilai intrinsiknya lebih banyak dari sebuah pengakuan entah berwujud sertifikat, plakat dan lain-lainnya.
Semakin besar kemampuan mengejar "pamrih" semakin dalam kemampuan memaknai kesukarelaan. Yang didului dengan pemahaman tentang kemanusiaan, kesamaan, kenetralan dan kemandirian. Sehingga tidak salah tangan saat memberi bantuan kemanusiaan di saat terjadi bencana apapun. Pemahaman inilah yang sejatinya mendorong sikap militan. Karena militan itu berpegang pada prinsip dasar. Bukan sebaliknya.
Semoga.
Sumber: Satu , Dua , Tiga , Empat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H