Sering kali, meski sudah ada wasit lapangan dan wasit-wasit garis yang memimpin pertandingan, orang-orang dewasa yang memperebutkan bola itu sampai berantem. Bila karena terlalu sengit berebut bola lalu terjadi tabrakan antar pemain dan wasit sudah menentukan bola diberikan kepada pihak tertentu, pihak ini pun malah menendangnya kembali. Bayangkan bila perebutan 11 x 11 orang dewasa ini tanpa wasit yang memimpin atau wasitnya seperti kebanyakan wasit negeri ini.
Seperti biasa dan seperti pada banyak hal, negara-negara maju yang memiliki kelebihan di hampir semua segi kehidupan, peranannya sangat besar bahkan menentukan dalam membawa permainan itu ke derajat 'terhormat' dan digilai hampir semua lapisan masyarakat dunia seperti sekarang ini.
Jangankan sepak bola, permainan yang berbahaya dan sangat tidak manusiawi pun --paling tidak menurut sebagian kalangan-- seperti tinju, di tangan mereka, bisa menjadi olah raga yang dicandui; sudah tentu setelah menjadi tambang fulus bagi mereka.
Memang mereka --orang-orang di negeri maju-- itu, barangkali karena kelebihan mereka di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ditambah disiplin dan keseriusan mereka, bagi kita di negeri berkembang ini bagaikan tukang sihir saja laiknya. Kebalikan dari kita yang menggarap hal-hal penting seperti main-main saja, mereka bahkan permainan bisa disulap menjadi hal yang sangat serius dan penting.
***
Penggalan beberapa alinea dari tulisan panjang pada Mata Air di Gubug Maya Gus Mus , memang tentang permainan sepakbola dari beragam sisinya. Mengalirkan cerita keindonesiaan dengan senantiasa menyelipkan pesan-pesan moral yang mengajak kita berpikir.
Betapa yang semula "hanya" permainan biasa menjadi luar biasa memesona. Menginspirasi banyak orang dan membawa muatan adiktif serta keuntungan ekonomi, sosial, budaya maupun politik karena satu kata : serius. Terutama menyeriusi komitmen taat aturan demi tegaknya keadilan. Sehingga yang punya kekuatan tidak untuk melemahkan. Yang pintar tidak membodohi dan sebagainya dan seterusnya.
Hidup diibaratkan suatu permainan. Namun tidak berarti bahwa hidup dan kehidupan dapat dipermainkan sekehendak hati, mengikuti hawa nafsu. Manusia dibekali nafsu untuk berpikir senantiasa menjadi yang lebih baik dari mahluk lainnya. Lebih taat aturan, lebih beradab. Lebih memahami ketinggian derajatnya sebagai pemimpin yang kuat dan amanah. Pemahaman yang serius, utuh. Bukan sepotong-sepotong, apalagi dipotong-potong untuk memuaskan hawa nafsunya.
Sumber : Utama , Air Jernih .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H