Rencana pemerintah lewat Kemenkeu yang akan mengkaji kemungkinan memperbanyak besaran renumerasi bagi kepala daerah untuk menekan potensi korupsi patut diapresiasi. Namun soal efektif tidaknya hal itu adalah pertanyaan lain yang juga perlu jawaban segera. Karena korupsi adalah perilaku, tabiat atau sikap hidup yang menuhankan uang. Uang adalah standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak.
Korupsi memiliki sejarah panjang, ribuan tahun sejak jaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma dan sampai sekarang. Menurut penulis buku Patologi Sosial (1981), Kartini Kartono, para pendeta di jaman Mesir kuno memeras rakyatnya dengan alasan keharusan menyajikan korban kepada para dewa. Para jenderal di jaman Romawi memeras daerah jajahannya untuk memperkaya dirinya.
Korupsi berkembang dengan semakin majunya dunia ekonomi dan politik berbarengan dengan modernisasi ekonomi dan sosial. Penyebab utama terjadinya praktik korupsi, selain sebagai bentuk penyimpangan perilaku individual, juga karena faktor ketidak-efektifan pelembagaan politik serta kurang berfungsinya sistem kontrol (sosial) dan yudikatif.
Teori Patologi Sosial yang disusun oleh Kartini Kartono (1981) di atas menyiratkan makna bahwa korupsi adalah penyimpangan perilaku individu yang mengakibatkan dampak sosial (negatif dan berdimensi luas) atas keuangan negara. Bentuk-bentuk korupsi (juga) mengikuti perkembangan teknologi informasi keuangan (financial technology atau fintech).
Jika jaman sebelum fintech maju, bentuknya cenderung fisikal (uang kartal) dimasukkan dalam dompet, kardus mi instan atau brankas. Fintech lebih mengakomodasi transaksi secara giral. Pemindah-bukuan cukup dilakukan dengan bantuan aplikasi dalam tetepon pintar.
Inilah yang acapkali jadi obyek perburuan bukti (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Pada saat OTT terjadi, yang kartal yang ditemukan mungkin hanya puluhan juta rupiah nilainya. Setelah dilakukan pendalaman, nilainya membengkak puluhan atau ratusan kali lipat. Dari sini, fintech dan teknik auditing memberi fasilitasi ke berbagai arah. Termasuk kemungkinan adanya tindak pidana lain.
Berdasarkan paparan idntimes, sepanjang tahun 2018 sampai Oktober, 19 dari 25 kasus yang terjaring OTT KPK adalah para Kepala Daerah. Terdiri dari satu gubernur (Aceh) dan sisanya adalah bupati/ walikota. Jawa dan Sumatera merupakan pulau penghasil koruptor terbesar (15), disusul Kalimantan (2), Sulawesi (1) dan Nusa Tenggara (1).
Dari sisi partai politik pengusungnya, para kepala daerah yang terseret kasus korupsi dan jadi pesakitan KPK adalah sebagai berikut: PDIP (8), Golkar (5) , PAN (3) dan masing-masing satu dari Demokrat, Nasdem serta parpol baru besutan keluarga Cendana: Berkarya. Semua parpol penyumbang koruptor itu berjalan sendiri atau berkoalisi dalam mengusung para kadal (kepala daerah yang dipilih langsung).
Karena itu, KPK mengusulkan perlunya SIPP (Sistem Integritas Partai Politik) sebagai agenda penting dalam Konferensi Pemberantasan Korupsi yang diselenggarakan di Jakarta (4/12). Usulan KPK yang dimaksudkan untuk meningkatkan upaya pencegahan tindak pidana korupsi itu sayangnya kurang direspon positif oleh 16 parpol peserta Pemilu Serentak 2019 yang akan berlangsung pada 17 April 2019 mendatang.
Jika dirunut lebih dalam dan dipetakan lebih luas dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII) bahwa selama dua tahun sejak 2017 stagnan pada posisi 37 sementara jumlah OTT KPK meningkat dua kali lipatnya, respon parpol yang dingin tentang SIPP dan revisi UU Tipikor seperti dikeluhkan para pimpinan KPK.
Pertanyaan besarnya, masih percayakah rakyat Indonesia sebagai penyumbang terbesar sumber keuangan negara bahwa perilaku korup para kepala daerah dapat dicegah dengan memperbesar besaran nilai renumerasi sebagaimana akan dilakukan oleh Menkeu?