Petani Kaki Bangsa, Pahlawan Lokal yang Penuh Derita
Di bawah Tugu Tani aku merenung tentang ucapan Bung Karno yang menyatakan bahwa petani adalah kaki bangsa Indonesia. Namun dari masa ke masa, dari rezim satu ke rezim lainnya, kaki bangsa itu tetap didera berbagai pukulan, bahkan dilemahkan.
Sepanjang masa setelah Indonesia merdeka, petani sering jadi tumbal pembangunan. Padahal pertanian adalah ibu dari segala profesi yang ada di bumi. Betapa menderita menjadi petani. Itulah mengapa anak petani banyak yang kapok lombok menggeluti profesi pertanian.
Usia Republik Indonesia sudah menginjak 79 tahun, namun petani masih sering dikalahkan. Impor bahan pangan dari luar negeri merajalela, pupuk sering langka, daya beli petani makin merana. Oh, betapa menderita jadi petani.
Patung Pak Tani di Menteng, Jakarta Pusat, mengingatkan kita semua agar meneguhkan politik pertanian. Seperti yang ditekankan para pendiri bangsa. Persenjatai petani dengan baik agar memiliki daya saing. Perkuat otot tubuh petani, agar kekar dalam meningkatkan produktivitas pangan.
Dalam sistem bela negara, mestinya petani itu angkatan pertama, bukan angkatan kelima. Pertanian adalah tulang panggul ketahanan nasional. Kekuatan suatu bangsa ditentukan oleh praktik politik pertanian yang menjadi dasar dalam membuat kebijakan ekonomi pertanian.
Usaha untuk mewujudkan ketahanan pangan sulit dilakukan tanpa peneguhan terhadap politik pertanian Indonesia di tengah arus globalisasi.
Kini, petani Indonesia telah masuk dalam perangkap politik pertanian global yang mengakibatkan ketidakmandirian dalam sektor sarana produksi dan tata niaga perdagangan.
Dalam konteks yang lebih substantif, Bung Karno ingin menegaskan bahwa eksistensi bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan memenuhi kebutuhan esensial bagi rakyat terutama kebutuhan pangan.
Untuk itulah kaum petani harus dikuatkan usahanya. Politik pertanian harus diteguhkan dengan cara membenahi organisasi petani serta memberi kebebasan untuk berserikat dan menentukan usaha secara bebas.