Lihat ke Halaman Asli

Totok Siswantara

TERVERIFIKASI

Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Petani Kaki Bangsa, Pahlawan Lokal yang Penuh Derita

Diperbarui: 16 Agustus 2024   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Patung Pahlawan atau Tugu Tani di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat ( dokpri/Totok Siswantara )

Petani Kaki Bangsa, Pahlawan Lokal yang Penuh Derita 

Di bawah Tugu Tani aku merenung tentang ucapan Bung Karno yang menyatakan bahwa petani adalah kaki bangsa Indonesia. Namun dari masa kemasa, dari rezim satu ke rezim lainnya. Kaki bangsa itu tetap didera berbagai pukulan, bahkan dilemahkan.

Sepanjang masa setelah Indonesia merdeka, petani sering jadi tumbal pembangunan. Padahal pertanian adalah ibu dari segala profesi yang ada di bumi. Betapa menderita menjadi petani. Itulah mengapa anak petani banyak yang kapok lombok menggeluti profesi pertanian.

Usia Republik Indonesia sudah menginjak 79 tahun, namun petani masih sering dikalahkan. Impor bahan pangan dari luar negeri merajalela, pupuk sering langka, daya beli petani makin merana. Oh, betapa menderita jadi petani.

Patung Pak Tani di Menteng, Jakarta Pusat, mengingatkan kita semua agar meneguhkan politik pertanian. Seperti yang ditekankan para pendiri bangsa. Persenjatai petani dengan baik agar memiliki daya saing. Perkuat otot tubuh petani, agar kekar dalam meningkatkan produktivitas pangan.

Dalam sistem bela negara, mestinya petani itu angkatan pertama, bukan angkatan kelima. Pertanian adalah tulang panggul ketahanan nasional. Kekuatan suatu bangsa ditentukan oleh praktik politik pertanian yang menjadi dasar dalam membuat kebijakan ekonomi pertanian. Usaha untuk mewujudkan ketahanan pangan sulit dilakukan tanpa peneguhan terhadap politik pertanian Indonesia di tengah arus globalisasi. Kini, petani Indonesia telah masuk dalam perangkap politik pertanian global yang mengakibatkan ketidakmandirian dalam sektor sarana produksi dan tata niaga perdagangan.

Dalam konteks yang lebih substantif, Bung Karno ingin menegaskan bahwa eksistensi bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan memenuhi kebutuhan esensial bagi rakyat terutama kebutuhan pangan. Untuk itulah kaum petani harus dikuatkan usahanya. Politik pertanian harus diteguhkan dengan cara membenahi organisasi petani serta memberi kebebasan untuk berserikat dan menentukan usaha secara bebas.

Sayangnya, hingga kini kaki bangsa Indonesia itu masih rapuh. Hal itu terlihat bahwa persoalan pangan masih mendera kehidupan bangsa. Komoditas pertanian yang mestinya sangat mudah ditanam di negeri ini, kini menjadi langka dan harganya mencekik rakyat. Masalah kelangkaan komoditas pertanian merupakan indikasi bahwa pembangunan pertanian masih jauh dari harapan. Kondisinya semakin runyam karena tata niaga produk pertanian semakin amburadul. Akibatnya produk impor dan ilegal merajalela dan menjadi permainan harga oleh mafia pangan.

Memuliakan Pertanian Meniru Tiongkok

Untuk meneguhkan politik pertanian alangkah baiknya kita menengok negara Tiongkok yang berhasil meningkatkan produksi pangan secara signifikan dan berkelanjutan untuk rakyatnya. Padahal, jumlah penduduk Tiongkok lebih besar lima kali lipat dibandingkan dengan Indonesia, tetapi mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan baik. Meskipun kondisi alam dan kesuburan tanah disana lebih bermasalah untuk bercocok tanam. Teguhnya politik pertanian pemerintah Tiongkok dibarengi dengan kerja sama dengan Food and Agriculture Organization (FAO). Kerjasama tersebut direalisasikan melalui penerapan Special Programme for Food Security (SPFS).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline