Dengan perasaan getir publik menyambut rencana pemerintah yang akan melakukan pembatasan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi mulai 17 Agustus 2024.
Bagi pemerintah Keputusan pembatasan BBM subsidi itu perkara mudah, namun sebaliknya bagi pelaksana di lapangan seperti stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), hal ini sangat riskan dan bisa menimbulkan gejolak.
Apalagi jika masyarakat unjuk rasa, maka distribusi BBM yang memakai truk tangki bisa terganggu transportasinya. Tanpa sosialisasi yang matang, antrian BBM subsidi bisa panjang, dan publik akan lelah antre di SPBU.
Mitigasi sosial dan kematangan mekanisme pembatasan yang berbasis digital harus segera disiapkan jauh hari. Kondisi SPBU saat ini masih banyak yang bermasalah, baik masalah teknis maupun masalah tenaga kerja atau kompetensi SDM. Persebaran SPBU masih didominasi oleh SPBU milik Pertamina.
Total jumlah SPBU Pertamina secara keseluruhan, yakni termasuk Pertashop, SPBU untuk nelayan, dan lain-lain, mencapai 14.400 lokasi. Jumlah tersebut adalah status Mei 2023.
Masalah subsidi, energi perlu dicermati mana subsidi yang ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan mana yang bersifat subsidi silang oleh korporat ( i.e., Pertamina) dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai BUMN. Subsidi JBT (Jenis BBM Tertentu) dan JBKP (Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan) yang sudah diatur itu lebih pada subsidi proses produksi.
Adapun mengenai penyetaraan harga di daerah-daerah di luar pulau Jawa termasuk daerah 3T, ini lebih kepada masalah logistik. Tarik ulur antara economy of scale (volumetrik) dan harga produk di titik tujuan masuk dalam rezim perhitungan logistic cost.
Perlu dicatat kasus kebakaran atau kecelakaan di SPBU hingga saat ini masih sering terjadi kasus kebakaran. Bermacam upaya pencegahan yang sudah dilakukan.
Dari analisis hasil audit dan investigasi selama ini, berbagai kejadian di SPBU disebabkan oleh beberapa faktor seperti aspek manusia (lack of skill, culture,competence), kelemahan rancang bangun (lack of engineering) seperti desain peralatan, instalasi, tata letak, perpipaan dan lainnya.
Disamping itu, ditemukan juga kelemahan dalam pengelolaan keselamatan (lack of safety management system) seperti penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Migas (SMKM) dan lainnya.