Masalah Standar Mutu Rumah KPR Sebabkan Beralih Kontrak
Masalah perumahan semakin komplek. Generasi saat ini semakin kesulitan memiliki rumah sendiri. Bahkan kelas menengah juga semakin tidak berdaya untuk memiliki rumah sendiri di kota tempat dia bekerja. Akhirnya mereka menjatuhkan pilihan dengan cara ngontrak atau mencari kost-kostan yang sesuai dengan kemampuannya. Mereka juga punya rencana untuk membangun rumah masa depan di kampung kelahirannya.
Selain besaran cicilan KPR yang tidak terjangkau lagi, ternyata standar mutu rumah KPR, baik rumah tapak maupun rumah susun ternyata menjadi penyebab masyarakat enggan punya rumah sendiri di kota lalu beralih kepada kontrak atau kos saja. Apalagi suasana dan kondisi bangunan kos-kosan pada saat ini banyak yang nyaman dan lebih ramah lingkungan. Buat apa punya rumah sendiri dengan cara mencicil lewat KPR jika kondisi rumah yang dibeli standar mutunya kurang bagus.
Selain itu lingkungan rumah KPR kebanyakan kurang nyaman, kualitas bangunan rendah sehingga cepat rusak. Belum lagi tata ruang yang sumpek, pengerjaan konstruksi yang asal-asalan dan material rumah yang buruk, semakin menyebabkan masyarakat lebih memilih kontrak rumah saja atau ,mencari kos-kosan yang lebih nyaman dan aman.
Para pekerja di kota saat ini lebih memilih ngontrak atau kos sembari menabung untuk membuat rumah di desa atau kampung halaman yang lebih berkualitas baik.
Manajemen Mutu Perumahan
Dikotomi KPR atau ngontrak saat ini kurang relevan lagi untuk dipersoalkan. Generasi saat ini memiliki strategi dan kalkulasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya terkait dengan perumahan.
Perkembangan teknologi telah mengubah tata ruang dan pemukiman lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Kebijakan negara yang penting adalah mewujudkan standar mutu bangunan yang baik serta melakukan pengawasan terhadap infrastruktur perumahan, baik rumah tapak maupun rumah susun atau Rusunawa.
Pembangunan Rusunawa yang dimaksudkan sebagai salah satu solusi dalam penyediaan permukiman layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), khususnya di perkotaan membutuhkan social-engineering agar bisa diterima dengan baik oleh rakyat.