Penerbangan Sipil Menghadapi Zona Konflik
Otoritas penerbangan sipil terus mencermati eskalasi yang terjadi pasca serangan Israel ke fasilitas diplomatik Iran di Damaskus dan serangan balasan Iran ke Israel. Eskalasi situasi keamanan di Timur Tengah itu menyebabkan beberapa negara melakukan pembatasan atau penutupan wilayah udara mereka untuk penerbangan komersial maupun penerbangan lainnya.
Konflik militer atau serangan teroris dapat terjadi di negara mana pun kapan pun dan menimbulkan risiko terhadap penerbangan sipil. Inilah sebabnya mengapa penting bagi pemerintah, operator pesawat, dan pengguna wilayah udara lainnya seperti penyedia layanan navigasi udara (ANSP), untuk bekerja sama dalam berbagi informasi terkini berbasis risiko di zona konflik untuk menjamin keselamatan penerbangan sipil.
Negara-negara yang telah menandatangani Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Konvensi Chicago), dan anggota The International Civil Aviation Organization (ICAO) berkewajiban untuk segera mengkomunikasikan potensi risiko terhadap operasi penerbangan sipil yang aman dan terjamin di wilayah udara kedaulatan atau delegasi mereka, termasuk yang berkaitan dengan zona konflik. Mereka melakukan upaya ini melalui Jaringan Titik Kontak Keamanan Penerbangan (POC) atau melalui mekanisme darurat regional.
Selain itu, maskapai penerbangan yang terdaftar di wilayah negara juga mesti melakukan penilaian risiko zona konflik milik mereka sendiri, termasuk melalui penyedia pemantauan keamanan pihak ketiga, untuk merencanakan rute dan operasi mereka dengan aman berdasarkan informasi terbaru yang tersedia.
Masih hangat dalam ingatan publik peristiwa pesawat sipil MH17 milik maskapai penerbangan Malaysia yang terkena rudal saat melewati zona perang di Ukraina beberapa tahun silam.Perusahaan penerbangan dan lembaga penerbangan sipil dunia perlu memberikan perhatian serius dan melarang awak pesawat sipil memasuki zona peperangan. Apalagi kasus penembakan pesawat terbang di Ukraina dan penyerangan terhadap lapangan terbang sebelumnya sudah sering terjadi.
Meskipun di wilayah Indonesia tidak ada zona perang, namun potensi gangguan terhadap transportasi udara masih tetap ada. Bagi bangsa Indonesia perlu membenahi sistem lalu lintas udara dan kondisi infrastruktur yang berfungsi menjaga dan mengawasi pergerakan pesawat terbang.
Belasan maskapai penerbangan telah membatalkan atau mengubah rute penerbangan. Situasi ini merupakan gangguan terbesar terhadap lalu lintas udara sejak serangan terhadap World Trade Center pada 11 September 2001.Sejak saat itu, dunia belum pernah mengalami situasi dimana banyak wilayah udara ditutup secara berurutan, dan hal ini tentunya menyebabkan kekacauan konektivitas udara. Gangguan ini diharapkan tidak berlarut-larut.
Gangguan lalu lintas udara ini diprediksi akan memberikan tekanan yang lebih berat bagi industri terkait yang saat ini sudah menghadapi sejumlah pembatasan akibat konflik antara Israel dan Hamas, serta Rusia dan Ukraina.