Lihat ke Halaman Asli

Totok Siswantara

TERVERIFIKASI

Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Kelas Menengah Mencaplok Gas Melon, Salah Siapa?

Diperbarui: 7 Maret 2024   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi elpiji 3 kg bersubsidi. (Dok.Pertamina via KOMPAS com)

Kelas Menengah Mencaplok Gas Melon, Salah Siapa ?

Membahas nasib kelas menengah di negeri ini penuh dengan kontradiksi, kadang mengenaskan kadang menyebalkan. Tak bisa dipungkiri, masih banyak kelas menengah yang bermental kelas bawah. Seolah tidak punya rasa malu, diantara mereka banyak yang "mencaplok" subsidi untuk rakyat miskin.Seperti subsidi energi, elpiji gas melon contohnya. Hingga kini kelas menengah dan atas semakin banyak yang memakai gas melon. Jika subsidi yang salah sasaran seperti ini dicegah, mestinya pembengkakan anggaran subsidi energi bisa dialihkan untuk program makan siang gratis. Dan untuk program-program populis pemerintahan baru hasil pemilu 2024.

Kalau kondisinya sudah runyam seperti ini, mestinya definisi subsidi diubah saja menjadi subsidi kelas menengah ke bawah, jadi lebih jelas.Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan anggaran subsidi energi sebesar Rp 186,9 triliun pada tahun 2024. Jumlah itu menjadi alokasi tertinggi dalam sejarah belanja subsidi energi yang direncanakan pemerintah.

Sudah banyak pakar dan akademisi yang menyatakan bahwa kenaikan subsidi ini disebabkan kurangnya pembatasan dan tidak mampunya pemerintah dalam penggunaan subsidi untuk BBM dan LPG (elpiji) 3 Kg. Subsidi by product banyak salah sasaran, sehingga besaran subsidi terus membengkak.

Keniscayaan, pemerintah harus segera bertindak tegas terkait dengan tata kelola gas elpiji (LPG) non subsidi maupun yang bersubsidi atau tabung melon. Selain itu, pemerintah kurang konsisten memberantas modus-modus penyelewengan LPG di lapangan yang kian marak.

Elpiji 3 kg banyak dioplos ke tabung non subsidi. Selain itu banyak pemerintah daerah yang memainkan harga tabung melon dengan cara menaikkan harga seenaknya sendiri, tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi.

Modus penerbitan surat edaran oleh beberapa pemerintah daerah terkait harga eceran tertinggi (HET) gas LPG 3 kg bersubsidi harus dibatalkan. Sebaiknya kewenangan penetapan HET LPG 3 kg bersubsidi dikembalikan ke pemerintah pusat, karena sering terjadi selisih harga antar daerah. Hal tersebut mendorong terjadinya permainan harga oleh spekulan.

Terkait dengan elpiji non subsidi lewat tabung 5,5 kg dan 12 kg juga mengalami persoalan harga yang bervariasi. Sebagai catatan, PT Pertamina beberapa waktu lalu telah menaikkan harga gas elpiji atau LPG non subsidi jenis Bright Gas ukuran 5,5 kg dan 12 kg dengan besaran Rp 2.000 per kilogram. Publik merasakan distribusi LPG non subsidi perlu diperluas penjualannya. Perlu memperbanyak toko dan kios yang bisa menjual gas tersebut. Sehingga tidak terjadi permainan di pangkalan elpiji. Fungsi aplikasi My Pertamina perlu diperluas hingga mencapai banyak wilayah yang bisa dilayani dengan pengantaran langsung dari rumah ke rumah untuk produk gas elpiji non subsidi.

Disparitas harga antara elpiji subsidi dan non subsidi menimbulkan ekses negatif terhadap masyarakat dan bisa merongrong keuangan negara. Karena dengan selisih harga yang tinggi, maka kasus pengoplosan dan penyerobotan gas melon semakin marak.

Apalagi hingga kini tidak ada kuota nasional dan daerah terkait dengan konsumsi riil gas melon. Selama ini terjadi salah sasaran terhadap subsidi elpiji 3 kg. Karena masyarakat yang mampu dan kalangan industri tidak punya rasa malu telah mencaplok gas melon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline