Lihat ke Halaman Asli

Totok Siswantara

TERVERIFIKASI

Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembangunan Kebudayaan Nglokro, Proses Kreatif Mampet

Diperbarui: 5 November 2023   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi menggugat kehadiran negara untuk memajukan kebudayaan ( sumber KOMPAS.id ) 

Pembangunan kebudayaan "Nglokro", Proses Kreatif Mampet

"ojo nglokro koyo sontoloyo, yen ngono yen ngono kowe kebacut bodho. Jo sontoloyo jo sontoloyo, tumandang makaryo pamrihi ojo rekoso...."

POTONGAN dalam tembang atau lelagon kesenian Jawa ini, mengajak bangsa ini untuk tidak sontoloyo, tidak nglokro.  Sontoloyo dan nglokro dapat dimaknai kurang bergairah atau juga kurang ada kemajuan.

Istilah nglokro relevan dengan pembangunan kebudayaan pada saat ini. Sungguh ironis, para pejabat negara, dari presiden, gubernur, bupati hingga kepala desa sering sekali memakai baju budaya setiap kali hari besar nasional atau saat acara-acara khusus. Bahkan Jokowi dan istrinya sering pamer memakai baju daerah dan membuat acara-acara hiburan .

Namun kenapa indeks pembangunan kebudayaan bangsa ini kurang menggembirakan. Bahkan pengukuran empat tahun berturut-turut era kekuasaan Jokowi, indeks kebudayaan masih memprihatinkan. Ironis, bangsa Indonesia ini bisa diibaratkan seperti zamrud khatulistiwa yang memiliki berjuta budaya yang adiluhung. Kenapa bisa begitu ?

Rakyat prihatin bahwa kesadaran dan pemahaman tentang  pembangunan kebudayaan di Indonesia masih belum menggembirakan. Pada tahun 2021, misalnya, Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Nasional masih berada pada angka 51,90. IPK disusun sebagai salah satu instrumen untuk memberikan gambaran kemajuan pembangunan kebudayaan yang dapat digunakan sebagai basis formulasi kebijakan bidang kebudayaan, serta menjadi acuan dalam koordinasi lintas sektor dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan.

Sekedar catatan, IPK tahun 2018 : 53.74, tahun 2019 : 55.91,tahun 2020 : 54.65, dan tahun 2021 : 51.90.  Skor IPK Nasional tersebut menunjukkan bahwa kesadaran dan pemahaman masyarakat Indonesia akan perlindungan, pemahaman, dan pemanfaatan serta diplomasi budaya masih ada di tingkat menengah kebawah.

Selama dua periode kekuasaannya, Jokowi kurang sadar budaya. Itu karena strategi pembangunan Jokowi terlalu berorientasi serba impor dan tergantung utang yang semakin menggunung. Terlalu memanjakan investor asing sehingga lupa terhadap pembangunan budaya bangsa yang bersendikan SDM terbarukan. Seacara alamiah terpuruknya kebudayaan diikuti oleh rusaknya hukum nasional, maraknya politik dinasti, hilangnya sopan santul politik, lenyapnya jiwa ksatria pejabat negara dan tumbuhnya feodalisme gaya baru yang keranjingan korupsi.

Keniscayaan, masalah kebudayaan menjadi hal yang strategis bagi perjalanan bangsa kedepan. Terutama usaha untuk menumbuhkan budaya inovasi sebagai kunci persaingan bangsa. Perlu strategi kebudayaan yang fokus terhadap budaya inovasi. Titik nadir terpuruknya kebudayaan nasional di era Jokowi tergambar dari kasus terbakarnya Museum Nasional dan hancurnya berbagai seni kerajinan tangan rakyat oleh barang impor. Bahkan produk mainan anak tradisional  yang selama ini menjadi bagian penting seni kerajinan rakyat kini telah musnah tergusur oleh produk impor, khususnya dari Tiongkok. Belanja mainan anak di Indonesia yang mencapai triliunan rupiah pertahun kini sebagian besar dicaplok oleh produk impor.

Kurangnya kesadaran dan pemahaman pemerintah akan pembangunan kebudayaan juga menjadi penyebab rendahnya nilai pemanfaatan ekonomi dari berbagai cagar budaya serta fasilitas dan infrastruktur kebudayaan yang telah ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline