Lihat ke Halaman Asli

Totok Siswantara

TERVERIFIKASI

Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Mungkinkah Substitusi Gandum?

Diperbarui: 2 Oktober 2023   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gandum varietas DWR 162 yang dapat tumbuh subur di kawasan antara lereng Gunung Merbabu dan lereng Gunung Telomoyo di Desa Salaran dan Wates, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Foto: KOMPAS/EDDY HASBY

Dalam Rakernas IV PDI Perjuangan Presiden Jokowi menyarankan kepada Ganjar Pranowo nantinya begitu dilantik menjadi Presiden diharapkan langsung kerja kedaulatan pangan. Rakernas mengambil tema Kedaulatan pangan untuk Kesejahteraan Rakyat. Dalam pidatonya Ketua Umum PDIP mengkritik kebijakan pemerintah yang mengimpor gandum dan membuat ketergantungan gandum di Indonesia. Menurutnya, pemerintah seharusnya dapat mengembangkan sumber pangan lainnya sebagai substitusi.

Megawati memaparkan angka impor gandum ada di empat persen di 1970 dan melesat ke 28 persen di tahun 2022. Akibatnya, Mega memprediksi, Indonesia akan mengalami ketergantungan dan konsumsi gandum meningkat 50 persen pada 2030. Bahkan, saat ini pemerintah menerapkan bea masuk nol untuk impor gandum yang masuk ke Indonesia.

"Saya bukan anti gandum. Saya senang hamburger, mie, namun mengingat gandum tidak bisa ditanam di sini guna mengurangi ketergantungannya, bukannya kita memiliki sumber pangan lainnya," kata Mega. Dia lalu mencontohkan sumber pangan lainnya selain beras adalah Anjali, Singkong, Sorgum, Sagu, Jagung, Porang, Talas, Ubi Jalar, dan Pisang.

Volume impor gandum Indonesia yang luar biasa besarnya dalam durasi waktu puluhan tahun sejak rezim orde baru tidak bisa lepas dari politik pangan yang melibatkan supremasi importir gandum dan turunannya. Oligarki importir gandum yang telah menggurita memiliki pengaruh sangat besar dikalangan elit politik tentunya merasa geli dengan pernyataan Megawati di atas.

Mungkinkah pemerintahan baru pengganti Jokowi mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional yang berbasis sumber daya lokal dalam waktu yang singkat. Pentingnya produk substitusi pengganti gandum. Produk substitusi itu bisa dihasilkan dari tanaman umbi-umbian yang ragam jenisnya sangat banyak di negeri ini. Hal itu agar negeri ini tidak terus menerus tersandera oleh masalah produk pangan impor.

Substitusi gandum yang volumenya signifikan, bukan substitusi yang volumenya ecek-ecek atau kecil. Program substitusi gandum akan dihadang oleh kesenjangan produktivitas. Dimana produktivitas pertanian di negara maju dengan negara berkembang sangat timpang. Sistem atau pola pertanian yang ada di dunia ini dapat dibagi menjadi dua pola yang berbeda yaitu; pertama, pola pertanian di negara-negara maju yang memiliki tingkat efisiensi tinggi, dengan kapasitas produksi dan rasio output per tenaga kerja yang juga tinggi.

Kedua, pola pertanian yang tidak atau kurang berkembang yang terjadi di negara-negara berkembang. Tingkat produktivitasnya sangat rendah sehingga hasil yang diperoleh acapkali tidak dapat memenuhi kebutuhan para petaninya sendiri. Sehingga antara negara maju dan negara berkembang muncul suatu kesenjangan yang disebut sebagai kesenjangan produktivitas. Sejak tahun 2000 kesenjangan produktivitas tersebut berkisar 50 banding 1.

Pada awal pemerintahan Jokowi pernah ada program pangan lokal, tetapi program itu ditiup angin malam. Saat itu Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB) mengeluarkan keputusan agar semua instansi pemerintah wajib menyajikan menu makanan dari hasil pertanian lokal. Semisal makanan berbahan dasar singkong. Ternyata program itu hanya berlangsung hitungan hari.

Mestinya program itu merupakan momentum unjuk gigi bagi pengusaha kecil makanan tradisional. Momentum tersebut juga bisa dimanfaatkan oleh pengusaha tepung singkong atau tapioka serta pengusaha pangan lokal lain seperti gula merah dan produk kelapa. Program diatas sebaiknya disertai oleh kementerian terkait lainnya dengan cara pemberian insentif kepada petani dan pengusaha tepung tapioka agar bisa meningkatkan kapasitas dan memperbarui mesin produksinya.

Keragaman pangan lokal bisa menjadi katup pengaman terjadinya krisis pangan. Masalah konsumsi gandum impor yang cenderung meningkat hendaknya diantisipasi dengan produk substitusi. Pengadaan produk substitusi itu bisa dihasilkan dari tanaman umbi-umbian yang ragam jenisnya sangat banyak di negeri ini. Hal itu agar negeri ini tidak terus menerus tersandera oleh masalah produk pangan impor. Sebenarnya banyak orang yang merindukan pangan atau makanan tradisional dan bosan dengan makanan berbasis gandum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline