Lihat ke Halaman Asli

Totok Siswantara

TERVERIFIKASI

Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Megah Nian Stasiun KA Bandung Raya, Kenapa Penjualan Tiket Kurang Ramah Sosial?

Diperbarui: 13 Juni 2023   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peron Stasiun KA Rancaekek ( dok pribadi )

Jalur kereta api (KA) yang membelah kawasan Bandung Raya membentang dari timur ke barat kini telah dilengkapi dengan stasiun yang megah dan modern. Stasiun Gedebage, Rancaekek, Cimekar, Haurpugur sudah selesai dibangun. Sedangkan stasiun Cicalengka dan Padalarang baru tahap penyelesaian.

Bagi kaum penglaju seperti saya ini, stasiun KA bagaikan beranda rumah sendiri. Tempat kita berpacu dengan waktu, menyusuri kehidupan. Kereta api komuter merupakan dewa penyelamat bagi kaum penglaju yang kebanyakan adalah para pekerja dan pedagang dengan standar penghasilan UMR.

Sayangnya, setelah stasiun dibangun menjadi megah dan lebih luas serta jalur KA dibikin ganda, publik di Bandung Raya dihadapkan pada masalah kurangnya rangkaian gerbong KA yang berpengaruh kepada frekuensi perjalanan KA.

Setelah jalur dibikin ganda, anehnya waktu tempuh KA komuter tetap saja lambat. Dan yang banyak menjadi keluhan publik adalah penjualan tiket untuk masuk stasiun yang kini sangat menyulitkan rakyat kecil, karena sudah tidak ada lagi penjualan secara manual.

Perubahan cara pemesanan dan pembelian tiket KRD Bandung Raya dan KA Lokal Garut Cibatu hanya bisa memesan dan membeli tiket perjalanan secara online melalui aplikasi KAI Access. Padahal rakyat kecil tidak semuanya memiliki kemampuan untuk memiliki gawai yang bisa mengakses KAI Access.

Kecuali, jika PT KAI punya program untuk bagi-bagi smartphone dan paket data gratis  kepada para penglaju golongan ekonomi lemah yang setiap hari memakai jasa KA. Seperti pedagang kecil, buruh rendah, anak sekolah dan segmen masyarakat lainnya. Sistem penjualan tiket yang kurang ramah sosial juga diikuti oleh problem teknis lainnya, yakni seringnya aplikasi KAI Access mengalami gangguan, sering minta pembaruan dan sering sulit diakses.

Transformasi penjualan tiket dengan cara digital atau online memang merupakan tuntutan zaman, namun kondisi sosial masyarakat belum memungkinkan bagi semua lapisan. Lagi pula KA Komuter itu pada hakekatnya adalah sistem angkutan massa bagi masyarakat.

Untuk itu pemerintah memberikan kucuran dana Publik Service Obligation (PSO) yang besar kepada PT KAI sebagai semacam subsidi agar BUMN ini bisa melayani angkutan massal sebaik-baiknya, yakni kategori penumpang kelas ekonomi.

Hakikat PSO sangat bertentangan dengan sistem penjualan tiket KA komuter yang mestinya mampu melayani sistem angkutan massal. Keniscayaan arus manusia mesti dipermudah dan dibuka seluas-luasnya bagi konektivitas publik. Yang setiap hari bahkan setiap jam lalu lalu lalang melewati stasiun KA.

Publik juga mengetahui bahwa PT Kereta Api Indonesia (Persero) telah menandatangani kontrak Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation/PSO) KA Ekonomi dan subsidi Kereta Api Perintis Tahun 2022 sebesar Rp3,237 triliun dengan Kementerian Perhubungan.

Rinciannya, Rp3,051 triliun untuk PSO KA Ekonomi dan Rp186,7 miliar untuk subsidi KA Perintis. PSO yang berjumlah triliunan itu mestinya mewujudkan sistem angkutan massal yang ramah sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline