Lihat ke Halaman Asli

Maksimalisasi Kesejahteraan

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada perbedaan mendasar antara orientasi maksimalisasi kesejahteraan dengan maksimalisasi keuntungan (baca: Kapitalisme). Kapitalisme, karena diawali dengan landasan berpijaknya terhadap modal maka ia akan cenderung menekan para penganutnya ke arah maksimalisasi keuntungan. Terkadang dilakukan dengan tidak memerhatikan dampak terhadap lingkungan baik sosial maupun alam.

Cara-cara menuai keuntungan sebenarnya sah-sah saja. Namun, ketika para penganut faham ini telah kehilangan --menurut Isaiah Berlin, "kebaikan dari lubuk hati yang terdalam" mereka cenderung mengambil sisi ekstrem dari orientasi mengambil keuntungan ini. Yaitu mengeksplotasi sumber daya yang ada tanpa kerangka. Tentu dengan payung keserakahan. Nilai-nilai tidak berlaku pada kutub ini.

Sekedar mengingatkan, ekonomi kita, dan kita tahu semua dilandasi oleh ekonomi kerakyatan berdasarkan Pancasila. Secara konsep memang sungguh melangit. Jika harus dihadapkan pada kenyataan yang ada ekonomi kerakyatan ini secara riil memang masih isapan jempol belaka.

Penjualan ponsel, misalkan, karena kebijakan dari pemerintah terhadap persaingan yang sehat, maka rakyat kita hanya akan menjadi target serangan dari perusahaan-perusahaan raksasa. Rakyat jatuh pada pola pikir "kurang bisanya memilah antara keinginan dan kebutuhan."

Bayangkan, seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban tidak mau sekolah hanya karena malu belum memiliki ponsel. Sementara teman-teman sekelasnya telah menggenggam ponsel-ponsel cerdas yang mereka sendiri belum mengerti dan memahami pemanfaatan fasilitas alat tersebut secara utuh kecuali hanya sekedar untuk mengirim dan menerima pesan saja.

Orang tua lebih memilih untuk membelikan ponsel terhadap anak tersebut daripada harus member masukan dan pencerahan yang tepat kepada anaknya. Padahal uang tersebut dihasilkan dari usaha kecilnya sebagai buruh kasar. Maka, akan sejahtera bagaimana ketika uang untuk satu bulan dihabiskan dalam waktu beberapa menit hanya untuk membeli ponsel.

Ya, dalam iklim maksimalisasi --keuntungan ekstrem, perusahaan raksasa kadang mengesampingkan etika, bisnis yang seharusnya menjadi penghubung antara produsen dan konsumen menjadi hubungan satu arah. Produsenlah yang mengatur pasar. Konsumen dari berbagai golongan digiringkan secara sporadis untuk mengikuti tren pasar artifisial(buatan) ini. Dan, segalanya berlangsung tanpa dirasakan oleh konsumen.

Sementara, jika pemerintah benar-benar ingin memaksimalkan kesejahteraan bagi rakyatnya, dia tidak akan diam, kecuali menjembatani hubungan antara produsen dan konsumen, bukan malah menerima uang saku dari produsen dengan kamuflase pajak. Kebijakan mediasi ini salah satunya adalah penertiban penjualan ponsel, kartu perdana, ketika ada produsen yang melanggar maka aturan ini harus ditegakkan dengan benar.

Pemberian pengarahan kepada anak-anak sekolah memang tidak akan banyak digubris oleh mereka, karena bagi remaja-remaja kita aturan hanya akan membuat hidup mereka seperti berantakan. Namun, setidaknya, ketika penjualan barang dikendalikan oleh pemerintah, banjir kesia-siaan dan kemubaziran bisa diminimalisir.

Sementara, dalam pandangan ekonomi kerakyatan, ketika kemubaziran telah menguasai sebuah zaman maka sampai kapan pun maksimalisasi kesejahteraan hanya akan dinikmati oleh orang-orang langit. Orang-orang bumi hanya akan mendapatkan debunya saja dan itu pun didapat dengan cara harus berdesak-desakkan, saling sikut, saling injak. Bila perlu membunuh pun dilakukan hanya untuk mendapatkan sebutir debu kesejahteraan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline