Lihat ke Halaman Asli

Toto Karyanto

Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Sengkarut Data, Bansos dan Pemilu Ricuh

Diperbarui: 21 Juni 2020   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Tirto.id

Bantuan sosial (bansos)  dari sumber keuangan negara masa kesulitan ekonomi rakyat sebenarnya bukan hal baru. Dengan nama, bentuk dan tolak ukurnya, penyaluran Bansos ini bersumber dari data kependudukan. Baik yang dihimpun dari lingkungan terkecil masyarakat yaitu RT dan RW sampai tingkat Kabupaten/ Kota maupun Provinsi dan Nasional. Yang selalu muncul dalam konteks penyaluran, selalu muncul ricuh yang dipicu sengkarut  data. Dalam hal ini, Kementerian menyalahkan daerah yang "ditugasi " menghimpun dan memastikan keabsahan data penerima Bansos maupun calon pemilih dalam Pemilu. 

Sampai dengan bulan ke tiga waktu penyaluran Bansos, beberapa kasus penolakan atau protes warga masih terjadi. Dari berbagai kasus yang muncul ke permukaan baik lewat media arus utama khususnya medsos, ketidak-tepatan data penerima bersumber dari data lama yang tidak diperbarui. Baik yang tidak disengaja, misal dikejar waktu penyetoran. Maupun yang disebabkan oleh miskoordinasi antar instansi. Tapi ada juga yang sengaja agar bisa " dimainkan" dengan beragam motif. Sehingga tidak saja menimbulkan kecurigaan warga kepada aparat pemerintah yang berujung ricuh dan tindakan sepihak. 

Namun ada kasus yang cukup menarik perhatian ketika sejumlah Kades memarahi petugas Dinas Sosial Kabupaten Kades di Kabupaten Pemalang Geruduk Dinsos . Juga di banyak tempat dalam berbagai media. Singkat cerita, sumber masalah adalah keabsahan data memicu ricuh. Tidak hanya warga dan perangkat pemerintahan. Tapi antara pemimpin daerah dan menteri. 

Di era keterbukaan informasi saat ini, data baku kependudukan menjadi sangat. Semua kebijakan publik dibuat berdasarkan data itu. Demikian pula dengan penerima manfaat Bansos maupun pemilih dalam Pemilu. 

Mungkin kita masih ingat "perang opini" antara kontestan dan KPU yang berimbas muncul suasana mencekam pasca pemungutan suara yang prosesnya memakan korban jiwa ratusan anggota penyelenggara Pemilu. Entah sudah selesai dengan tuntas atau belum, santunan yang dijanjikan pemerintah kepada korban. Ada kabar miring tentang hal ini. Lagi-lagi soal akurasi data dan integritas orang-orang yang diberi amanat untuk melakukannya. 

Kini, di tengah pandemi yang data penyebarannya terus meningkat dan optimisme menghapus virus itu masih rendah karena beragam sebab. Pemerintah dan KPU memastikan bahwa penyelenggaraan Pemilukada di 270 provinsi maupun kabupaten/kota tetap berjalan pada 9 Desember 2020 setelah ditunda sekitar tiga bulan. Alasan pemerintah seperti disebut oleh Mendagri bahwa Indonesia adalah negara terakhir yang menyelenggarakan Pemilu dan tidak ada jaminan bahwa jika ditunda lagi sampai tahun depan tetap tidak ada jaminan aman dari pandemi Covid 19. 

Pengalaman di dua Pemilu terakhir, soal penyusunan data pemilih bukan hal mudah bagi petugas di lini terbawah. Acapkali, untuk memastikan data pemilih, petugas pemutakhiran data pemilih (mutarlih) harus bekerja lembur berhari-hari tanpa kompensasi. Entah berjenis uang lembur, insentif. Apalagi bonus kerja. Hal ini masih mungkin terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu kali ini. 

Dalam situasi sosial yang sangat kompleks di tengah pandemi Covid 19 saat ini, risiko yang akan dihadapi oleh petugas di tingkat PPS dan PPK sangat besar. Dengan tanggung jawab besar dan tingkat risiko tinggi serta keterbatasan anggaran, apakah KPU dan pemerintah telah mempertimbangkan saksama?  Jangan lupakan realita sosial yang menganggap Pemilu identik dengan bagi bagi uang. Potensi diorganisasi sosial cukup terbuka dan biasanya petugas di lini terbawah (PPS dan PPK) adalah garda terdepan. Keselamatan jiwa pribadi lebih utama ketimbang mengambil risiko yang tidak proporsional. Profesionalisme? Entahlah. Tanyakan pada rumput yang bergoyang. Apalagi di sisi sekretariat yang punya budaya kerja dan tradisi khas yang terus dipelihara. 

Banyak daerah yang pemimpin utamanya (Bupati atau Walikota) terjerat kasus korupsi baik dalam Operasi Tangkap Tangan KPK maupun terseret kasus lain beberapa bulan setelah dilantik.  Ada yang sorangan alias sendirian, tapi lebih banyak yang rombongan seperti terjadi di:Kebumen . Bahkan menurut media itu, kasusnya tergolong sistematis. Kalau benar begitu, warga masyarakat tidak hanya mengalami kerugian material sebagaimana disangkakan kepada para pelaku. Lebih dari itu kerugian imateril yang nilainya berlipat kali besarnya sulit dikalkulasi dengan besaran apapun. 

Memaksakan Pemilukada tetap diselenggarakan di tengah pandemi bukan sekadar hitung-hitungan teknis seperti yang menjadi alasan pemerintah maupun KPU . Di awal waktu pengaktifan kembali badan ad hoc, diakui atau tidak, masyarakat umum di berbagai daerah yang akan menyelenggarakan Pemilukada masih berada di zona merah atau kuning penyebaran Covid 19. Sebagian besar di antaranya telah bersiap diri menuju fase new normal yang disikapi dengan euforia. Ada petinggi daerah yang menyakinkan dirinya bisa bersepeda ria ke luar daerah. Bahkan ke provinsi tetangga bersama rombongan pejabat. Inikah teladan yang patut diikuti ketika orang-orang biasa masih kuatir akan terjadinya gelombang ke 2 pandemi Covid 19? Wallahu a'lam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline