Keberadaan seseorang di Kompasiana baik sebagai penulis aktif, angin-anginan maupun silent reader adalah bagian dari satu komunitas besar dunia kepenulisan di tanah air. Komunitas yang acapkali disebut blog keroyokan ini memiliki arti tersendiri bagi Kompasianer. Sebutan keren bagi penghuninya.
Sepanjang satu dasawarsa, tepatnya 21 Oktober nanti, saya mungkin termasuk kategori yang angin-anginan. Tidak produktif dan kurang berkualitas karena beragam alasan. Malas membaca utamanya. Karena menulis artikel dan konten lain di Kompasiana selain harus patuh pada aturan, juga harus banyak belajar agar dapat menampilkan konten layak saji.
Seperti koki atau chef, seorang Kompasianer punya tingkat kemampuan masing-masing dalam meracik bahan-bahan, menyertakan bumbu-bumbu, mengolah dan tentu menyajikan di halaman Kompasiana sebagaimana sajian kuliner yang menggugah selera. Di sini, kapasitas dan kualitas Kompasianer akan nampak jelas.
Selain beragam perkembangan yang menjadi bagian dari proses adaptasi dan inovasi yang tentu sangat diharapkan oleh banyak Kompasianer, hari ini (Sabtu, 5 Oktober 2019) saya menemukan satu sisi yang sangat menarik. Lewat akun dabPigol yang kehadirannya karena pemakaian ponsel android, saya mendapati kenyataan yang cukup mengagetkan.
Seorang Kompasiner yang melejit namanya dalam waktu cukup singkat, sangat produktif lewat karya-karya puisi dan baru beberapa hari terakhir menulis artikel, Ropingi , ternyata diblokir karena melanggar aturan (syarat dan ketentuan) Kompasiana. Ini peristiwa pertama yang saya jumpai.
Pelajaran besar yang satu ini adalah refleksi. Betapa kita harus menghargai dan menghormati lingkungan keberadaannya. Sebagaimana pepatah lama, di mana kaki berpijak di situ langit dijunjung. Pepatah jaman dulu itu sederhana saja. Bahwa, sebagai manusia yang berbudaya, hendaknya kita bisa menempatkan diri.
Ibarat rumah, Kompasiana adalah banjar (rumah besar) yang dihuni oleh banyak anggota keluarga. Setiap orang membawa jati dirinya. Namun tidak semua orang mampu menempatkan diri pada posisi yang semestinya. Kompasianer memang datang dan pergi mengisi laman dengan beragam konten.
Pengisi konten berasal dari berbagai latar dan karenanya Kompasiana pernah saya sebut rumah kecil/mini keindonesiaan kita selaku Kompasianer. Bangsa Indonesia merdeka dari jerih payah, bukan pemberian atau hadiah dari bangsa lain.
Kemerdekaan yang harus dimaknai sesuai hamannya. Berbeda pendapat adalah hal biasa dan manusiawi. Bersikukuh dengan pendapat sendiri itu yang semestinya disesuaikan dengan pepatah tadi.
Sekali lagi, saya hanya ingin menegaskan bahwa keberadaan Kompasiana dan Kompasianer adalah realitas sejarah perkembangan media yang sedikit banyak memberi kontribusi pada perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Semoga di masa mendatang saya bisa menjadi kontributor yang bermanfaat. Bukan yang banyak itu (pasti) baik, tapi yang baik pastilah yang banyak. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H