Hari ini kami akan menunaikan janji bertemu sang pemilik kursi tua. Satu demi satu rencana disusun pada langkah yang cukup panjang, atau jika tidak juga dalam rentang yang bukan sangat pendek. Bertimbang banyak rasa dan asa, sesekali dalam bayang-bayang gelisah. Mungkinkah si empunya masih menunggu?
Kutanyakan lagi pada pagi, apakah dirimu enggan melepas pergiku menjemput sang kekasih di ujung waktu? Sejak malam kau tumpahkan air mata dan segala amarahmu yang menggelegar hingga Subuh tadi. Sampai fajar seolah tak ingin jumpa mentari yang berselimut kabut tebal. Hanya katak yang menjawab sejadi-jadinya. Theot-theblung...kuuung.. berkali-kali, simponi alam nan tertata rapi.
Dalam derai air mata yang menyayat, kupaksakan kaki ini tetap dan terus melangkah. Tak pedulikan lagi air mata menggenang di semua sudut ruang. Dengan tekad kuat bertemu sang perindu, lunas satu rencana di atas kuda besi yang melaju kencang. Meski mendung menggelantung di sepanjang jalan yang dilalui.
***
Kekasih.. aku tlah datang, sambutlah dengan anggukan kepala saja. Cukup bagiku jawaban itu. Kubawakan oleh-oleh kesukaanmu. Cendera mata paling berharga, buah hati dan teman bercerita. Tentang hidup yang harus bermakna jiwa. Mungkin karena kebutaanmu pada aksara. Warisan lama, perempuan tak perlu bermata Latin. Cukup dengan kelembutan dan mata hati sang bidadari sorga.
Perjalanan panjang yang kau tempuh saat ini di antara ada dan tiada. Rasa sakit yang teramat menyayat kalbu. Erang dan lenguhan semalam suntuk. Dalam daya doa-doa selamat di perjalanan pulang ke tempat kita berasal. Dalam pangkuan alam semesta yang menuntun keabadian sejatinya.
Kekasih... genggaman tanganmu kian melemah bersama rasa sakit tiada terkira. Rintihan itu kusambut dengan doa yang mengalir deras dari kalbu dan lewat mulut para kerabat melafalkan ayat-ayat suci.
Tanpa berputus harap agar Sang Maha Kuasa senantiasa menjaga kasih sayang. Memudahkan perjalanan pulang serta membuka pintu-pintu maaf. Mencurahkan segala daya agar tapak-tapak kaki itu berpijak kokoh dalam kebesaran namaMu.
Malam masih memainkan nada-nada perih yang teramat sakit. Sesekali berganti, agar daya kami tak hilang di tengah jalan terjal, bisu. Penantian panjang dalam barisan pasti, tak jelas kapan dan bagaimana mana cara menggapai ujungnya. Semua akan mengalami pada waktunya. Tubuh-tubuh biru nan membeku.
***
Di tepian dini hari, sayup-sayup terdengar puja puji kepada Illahi. Suara-suara di atas kepala bertanya, nikmat apa lagi yang kau dustakan? Lalu terdengar panggilan agar kami bangkit, bersuci dan merendahkan diri. Bersujud di hadapanNya. Kulakukan sebelum rasa kantuk dan lunglai menutup jalan kesadaran. Setelah itu, tiada lagi suara kesakitan yang menghias malam. Hening , sepi mengiringi pagi. Berganti dengkuran kelelahan yang tertunda.