Kursi tua di sudut ruang terasa beku dalam kesendiriannya. Saksi bisu ketidak-berdayaan seorang perempuan tua atas jalan panjang nan terjal dan berkelok-kelok.
Beragam bebatuan mengiringi perjalanannya, ada yang sangat tajam menusuk. Ada juga batu hitam, besar dan licin menghadang asa. Dan sebagian besarnya tak cukup kuat buat tempat berpijak. Seolah tak ada jalan mulus yang dapat dilalui.
Pagi itu, satu episode perjalanan dipaparkan dalam irama pilu. Terselip satu dua kalimat berintonasi keras membahana. Bertutur tentang masa lalu ketika ia masih gadis yang dipinang seorang guru kampung agar jadi istrinya.
Lalu beragam bunga diselipkan dalam bajunya yang kebesaran. Bukan bunga indah seperti mawar nan menawan hati. Atau melati, apalagi sedap malam. Bunga-bunga kertas warna-warni itu disematkan dalam senyum dikulum. Kadang tak bersuara, hanya kegetiran yang mengemuka.
Tapi, tiba-tiba berubah jadi anggrek bulan seputih awan. Jika ini yang melintas, senyum manis tergambar jelas di wajahnya. Di saat itulah, asa akan mengalir bak mata air pegunungan nan jernih. Ketulusan dan kesabaran memancarkan cahaya keibuannya. Penuh kasih dan dambaan sorga yang ada di telapak kakinya.
Ketabahan seorang pejalan kaki ribuan langkah yang penuh darah, nanah dan air mata. Perempuan itu dijodohkan pada tujuh belas tahun. Tradisi yang melekat, cinta dan romantisme kasih sayang biarlah berproses seiring waktu dalam mendewasakan perkawinan. Tradisi leluhur tak elok diolok-olok.
***
Ketika ku pinang anak perempuan satu-satunya, engkau tak rela melepas pergi jauh dari tempatmu berada. Aku mencoba pahami gelisah itu menggelayut angan dan rasa. Dan tak ingin pula memaksakan diri seketika mengambil buah hatimu dari dekap erat tubuhmu yang kian tak kauindahkan. Karena hatimu jauh lebih tahu sejatinya keindahan itu berada.
" Jika kamu mau pergi dari rumah ini.... pergilah sejauh mungkin", sambil menangis Ibu melepas kepergian sang putri tuk arungi samudra kehidupannya. Kamipun memaklumi gundah gulana itu. Karena ia senantiasa jadi tumpahan rasa lelah dan kesalnya. Maka kamipun bersiasat mengalihkan rasa itu agar tidak berlarut jadi bahan monolog pagi hari. Waktu pentas terpanjang dalam balutan aroma masakan yang acapkali tak lagi menggoda seleranya. Bahkan sering menambah sesak di dada.
Entah mengapa, pagi sering kali jadi awal mula monolog itu terjadi. Dari soal selera makan yang tidak sejalan sampai hal-hal remeh temeh menyeruak tak jelas arah.
Pagi itu sengaja kugoda agar tak ada pentas monolog, tapi jadi dialog . Sebentar waktu bisa, namun kembali saat aku berlalu sekejap mata. Menyeduh kopi atau menyapa belahan jiwa. Lalu kami ikut bermain watak pada pentas itu.