Lihat ke Halaman Asli

Toto Karyanto

Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Masihkah Bahasa itu Menunjukkan Bangsa?

Diperbarui: 26 Oktober 2018   09:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi foto: www.pearltrees.com

Sebelum Indonesia merdeka, ada pernyataan sikap generasi muda di jaman itu  yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Pernyataan berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu: Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi sumber inspirasi dan motivasi perjuangan yang menyatukan kekuatan, menggerakkan pikiran dan upaya kebangsaan serta mengikat beragam daya yang tercerai berai oleh banyak perbedaan. 

Indonesia itu abstraksi, sangat nyata dan mudah dipahami. Narasi  yang menyajikan keunikan dalam alur deskriptif yang runtut dan berkesinambungan. Bangsa dari beragam suku, adat istiadat dan keunikan budaya lokal serta aneka potensi keberdayaan. Dari Barat sampai ke Timur, berjajar pulau-pulau dalam satu rantai nilai. 

Gajahmada, sang maha Patih Majapahit bersumpah:  Jika telah mengalahkan  Nusantara  , saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".  

Petinggi kerajaan besar dan Pemuda Nusantara di jamannya telah bersumpah  bahwa rantai nilai Indonesia ada di dalam bangsa, bahasa dan tanah air yang satu. Oleh para pendiri Bangsa Indonesia, rantai nilai itu dipaparkan dalam Mukadimah UUD 1945 sebagai visi kebangsaan. Di sisi ini Bahasa Indonesia membuktikan eksistensinya. Bahasa pembentuk identitas dan karakter kebangsaan. 

"Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Oleh sebab itu, (segala bentuk/ karakter) penjajahan (di muka bumi ini) harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".

Pernyataan kemerdekaan yang dirangkaikan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Inilah keindonesiaan kita yang sebenarnya mudah dipahami sebagai hal yang sangat nyata. Tapi acapkali dibuat rumit karena diputus dari rantai nilainya. Kemerdekaan yang hanya disandingkan dengan keadilan tanpa peri yang mengawali. Apalagi dengan menghilangkan nilai perikemanusiaan. 

Dari satu sisi visioner (paragraf pertama) Mukadimah UUD 1945 saja dapat diketahui bahwa kedudukan Bahasa Indonesia tidak terbatas sebagai alat berkomunikasi. Ada nilai budaya dan filosofis yang jika disandingkan dengan Deklarasi HAM PBB 1948 jelas derajatnya. 

Demikian pula pada teks Proklamasi. Apakah kita masih ingin mengingkari bahwa Bahasa Indonesia merupakan rantai nilai yang menggerakkan sumber-sumber daya kebangsaan Indonesia merdeka? Atau kita perlu berpuasa yang intinya pengendalian diri dari syahwat destruktif sebagaimana dilakukan Gajahmada?

Dirgahayu Sumpah Pemuda ke 90. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline