Lihat ke Halaman Asli

Toto Karyanto

Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Andaikan Indonesia Tanpa Reformasi

Diperbarui: 24 Oktober 2018   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Bus KPK,

Pernahkah terbayang di benak kita Indonesia tanpa reformasi? 20 tahun reformasi merupakan momentum untuk merefleksi ruang di masyarakat di mana bahasa menjadi alat pembebas atau justru sebaliknya. Suara dalam artian cara pandang masyarakat yang ditulis atau diucapkan dan isu-isu yang diangkat dalam suatu karya. Bukan tanpa perjuangan, 20 tahun sudah reformasi datang melepas kekangan. Kini, saatnya kita berkarya untuk memaknainya! Tema Bulan Bahasa di UGM  ini mengingatkan kita, khususnya saya, untuk memaknai perjalanan Indonesia dalam 20 tahun terakhir.

Sebagaimana diketahui, gerakan reformasi diawali dari kegelisahan para terpelajar. Sejarah perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran kaum terdidik yang diajarkan untuk senantiasa berpikir dan memaknai kehidupan. Bukan sekadar satu dua peristiwa dan fenomena. Mungkin lewat puluhan, ratusan atau ribuan momentum. Mengapa harus menghitung momentum??

Kesempatan tak akan datang dua kali,  maka gunakan sebaik-baiknya. Begitu petuah tetua yang sering kita dengar. Memang benar bahwa kesempatan lebih sering hadir sekali seumur hidup. Apalagi untuk hal yang sangat penting seperti halnya reformasi . 

Ketika penguasa negeri yang tengah digugat oleh kegelisahan tadi    tak ingin jadi dan andaikata politisi mau mengakui mungkin momentum itu tak pernah ada. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, tak ada daya yang mampu mengembalikannya ke masa lalu. Kecuali oleh para pemimpi di siang bolong. Dan pahlawan yang hadir setelah hari terang benderang.

Isu besar yang dibawa dalam gerakan reformasi adalah hapuskan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dipandang sebagai wabah penyakit kronis negeri ini. Korupsi menggerus harta kekayaan, dilakukan"orang dalam" lingkaran kekuasaan negara. Kolusi dan nepotisme merusak moral dan sistem ketatanegaraan yang imbasnya tak kalah hebat dari korupsi. Saat gerakan reformasi digulirkan, KKN adalah isu besar bagaikan fenomena gunung es. Dan kian nyata setelah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lebih nyata lagi dalam banyak OTT dan pesakitan KPK dalam beberapa tahun terakhir. 

Mengapa isu besar KKN yang menginspirasi gerakan reformasi kini justru kian hilang atau kurang makna?  Secara faktual, upaya menolak korupsi cenderung menurun.  Tingkat memaklumi atau permisifitas korupsi di tengah masyarakat kita masih cukup tinggi.  Lingkungan pendidikan misalnya, menempati posisi ke tiga di bawah perekrutan pegawai (PNS) dan pengurusan dokumen kependudukan. 

Sekecil apapun kegagapan dunia pendidikan dalam menerjemahkan pesan moral  upaya penolakan terhadap korupsi itu, dampaknya luar biasa besar. Indikator yang ditandai besarnya permisifitas atas perilaku koruptif adalah tanda bahwa lampu kuning telah dinyalakan. Dunia pendidikan adalah lingkungan yang semestinya steril dari perilaku permisif korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Angka 27,99% untuk satu sisi jual beli jatah bangku sekolah saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Apalagi jika ditambah hal lain seperti rekrutmen GTT, pengadaan fasilitas KBM dan sebagainya. Entah berapa banyak kasus korupsi di lingkungan pendidikan seperti:  Operasi Tangkap Tangan (OTT) Perbukuan di Kebumen Tidak heran jika KPK mencermati kode unik  semacam apel saat mendalami kasus korupsi di Kota Malang atau babeh di Kabupaten Bekasi.

Ilustrasi Ekonografik @katadata.com

Kembali pada pertanyaan di awal tulisan ini, bahwa bahasa kekinian adalah data. Data di atas telah memberikan gambaran yang cukup transparan bahwa perjalanan reformasi mengisyaratkan banyak kegagalan. Entah yang gagal paham maupun gagal fokus. Atas hal ini, kemudian muncul ungkapan satiristik "(luwih) enak urip nang jamanku to (lebih enak hidup di jaman saya, Soeharto, berkuasa kan?".

Apapun yang terjadi saat ini, reformasi telah dan harus terus berjalan maju. Jika dipaksakan harus mundur, itu bagian dari proses monitoring dan evaluasi. Banyak hal dan sisi yang harus diperbaiki. Sektor pendidikan tetap prioritas selain ekonomi dan kepastian hukum. Mencari salah tak akan memecahkan masalah. Tidak juga berarti membenarkan yang tidak sesuai harapan dan cita-cita reformasi.

Dua dasawarsa perjalanan gerakan reformasi sedikit banyak telah memberi warna dan makna dalam kehidupan sosial kita. Guru dan Aparatur Sipil Negara (ASN) telah merasakan dampak ekonominya dengan beragam fasilitas dan atribut. Sebagai timbal balik, sepatutnya tak ada lagi cerita jadul: jual beli jatah bangku pada era PPDB berzonasi. Juga para PTT di kantor kelurahan, kecamatan dan Disdukcapil yang berperan sebagai calo pengurusan dokumen kependudukan. Apalagi menjadi calo rekrutmen pegawai maupun CPNS di seluruh instansi pemerintah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline