Lihat ke Halaman Asli

Toto Karyanto

Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Balada Palu Ongklek Harmoko

Diperbarui: 14 Oktober 2018   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi @tirto.id

Ogleg atau Ongklek dalam bahasa kampung saya berarti goyah. Seperti gigi yang mau tanggal. Masih berada di tempatnya, tapi tak berfungsi optimal karena lapuk dimakan usia atau digunakan berlebihan. Bisa juga karena serangan jasad renik yang merusak dari dalam. Palu atau martil dalam kondisi goyah, selain tidak berfungsi optimal, sangat berpotensi mencelakai penggunanya. 

Sementara itu, balada adalah cerita rakyat sederhana  yang mengharukan. Bisa jadi syair lagu, narasi atau bagian dari dialog. Balada Sejuta Wajah-nya grup band rancak, God Bless menceritakan keharuan kaum urban di Ibukota. Begitu juga dengan Balada Gadis Desa-nya Bimbo.

Lalu apa yang menarik dari  Balada Palu Ongklek ? Jika sekadar alat dalam pertukangan atau karawitan adalah hal biasa. Menjadi luar biasa atau sangat istimewa karena palu itu jadi alat legitimasi politik di akhir masa kepemimpin Jendral Besar Soeharto sebagai penguasa Orde Baru. Palu itu dipegang oleh pendukung setia "Bapak Pembangunan"  yang kemudian membelot. 

Namanya Harmoko. Ketua DPR /MPR yang terkenal dengan julukan hari-hari omong kosong Inilah  drama politik yang paling menggelikan sepanjang Indonesia Merdeka. Balada kehidupan yang mengharu biru.

Bagi orang-orang yang mengamati perjalanan karir politik Harmoko dari saat dirinya sebagai Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) terus melompat jadi Ketua Umum DPP Golkar sebelum jatuhnya rezim Orde Baru, banyak memunculkan gurauan nyinyir  di media massa cetak. Ia juga disebut sebagai penjilat kelas wahid yang selalu mengatakan: " menurut petunjuk Bapak Presiden...", saat menjabat Menteri Penerangan. 

Harmoko adalah simbol keharuan atas pola kepemimpinan masyarakat paternalistik. Haru yang bernuansa kesedihan karena cermin besar kekuasaan negara diisi wajah-wajah badut berperut gendut, berhidung tomat. Menggelikan buat anak atau yang kekanakan. Tetapi memuakkan bagi yang lainnya. Di antaranya adalah orang-orang yang berpikiran untuk menggerakkan perubahan yang kemudian dikenal dengan istilah reformasi

Palu sebagai simbol kekuasaan politik dan sosial mengandung makna berbeda. Palu Ongklek -nya Harmoko adalah simbol rapuhnya kekuasaan politik Suharto jelang kejatuhannya. Diawali sanjungan dan sekaligus jebakan " kebulatan tekad"  seolah mengulang suasana apel besar nasakom di ujung kekuasaan pemimpin besar revolusi - penyambung lidah rakyat, Sukarno

Saat itu, banyak orang enggan melawan lupa. Ada yang larut dalam rasa takut disebut penghasut atau pengecut jika tak ikut alirannya seperti klompencapir dan lainnya. Tapi lebih banyak yang sejenis Harmoko di sekeliling sang Jendral Besar.  Ujung-ujungnya, balada itu berakhir menyedihkan. Pilu. Sejuta wajah yang kau libatkan dalam himpitan kegelisahan. 

Palu Ongklek menjadi Balada sejuta wajah yang mengharu biru. Memunculkan beragam konflik dan mengubah krisis moneter (krismon) jadi krisis multidimensional. Krisis beragam yang tak pernah tuntas diselesaikan karena beragam alasan. Reformasi yang menyuarakan penghapusan praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) hanya berganti baju dan pelaku. Jutaan wajah tetap menghiba. 

Korupsi tak lagi jadi antipati karena semua ingin menikmati. Tanpa harga diri  tidak berarti mati.  Tak heran jika ada episode beradu gengsi dua institusi , KPK dan Polri. Balada reformasi yang mengharu biru. Palu Ongklek Harmoko mungkin bukan omong kosong lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline