Bencana memang bukan kuasa manusia untuk mengaturnya. Sebagai mahluk yang diberi anugerah lebih dibanding mahluk lain, manusia dilengkapi dengan akal dan hati nurani. Jika akal tak mampu lagi menjangkau rahasiaNya dibalik segala peristiwa di jagad raya ini, hati nurani mestinya yang mengemuka. Itulah sejatinya kehidupan.
Indonesia sudah lama sekali dikenal sebagai wilayah rawan bencana. Alam yang beraneka rupa di satu sisi mengundang pesona, dan sebaliknya menyimpan potensi kerusakan yang sulit diatasi jika terjadi. Selain dilintasi jalur gunung berapi yang membujur di sepanjang kepulauan besar dan kecil, di atas atau dibawah permukaan tanah, tiba-tiba aktif tanpa tanda awal dan sebagainya. Faktor alam ini jelas merupakan potensi bencana. Ditambah dengan perilaku manusia yang kian hari semakin tak bersahabat dengan alam dan lingkungan potensi itu menjadi semakin besar dan terbuka.
Selain faktor alam yang senantiasa memberi tahu adanya peringatan akan kewajiban untuk menjaga keseimbangan lingkungan, faktor manusia adalah kunci bagi upaya mengurangi tingkat risiko bencana alam. Sejauh ini, tingkat kerusakan alam karena faktor intrinsiknya sudah cukup besar. Tetapi, tingkat kerusakan alam yang disebabkan ulah manusia justru lebih besar dan berdimensi luas. Terutama dalam dasawarsa terakhir, banyak sekali perilaku pemimpin di semua lini, baik pusat maupun daerah yang tak lagi mempertimbangkan dengan saksama semua potensi kerusakan akibat bencana. Mereka terlalu asyik dengan diri sendiri dan kelompok-kelompok kecilnya. Sehingga mengabaikan kepentingan yang lebih luas dan strategis.
Satu bukti kuat hilangnya nurani kemanusiaan para pemimpin yang berada di jajaran pemerintah dan DPR khususnya, adalah pengabaian atas kewajiban bagi negara Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 untuk segera mengundangkannya sebagai bagian utama dalam konstruksi hukum nasional sejak tahun 1958. Sudah cukup banyak tulisan saya tentang hal ini. Terakhir mengangkat kejengkelan relawan PMI kepada pengurus organisasi PMI dan parpol karena tak ada kemajuan berarti dalam menyelesaikan hal-hal yang tidak prinisip dalam peroses pengundangan #RUUKepalangmerahan.
Bukti lain adalah kelambanan pemerintah pusat dalam menanggapi status bencana erupsi Gunung Sinabung yang terkatung-katung selama lebih dari tiga bulan. Ini sangat berbeda dengan saat terjadinya kasus serupa di Yogyakarta (erupsi Gunung Merapi 2005 dan 2010 serta gempa bumi 2006). Bahkan teman-teman Relawan PMI di Sumatera Utara yang telah berjibaku sejak erupsi pertama sampai harus mengeluarkan pernyataan sikap "keras" yang sedikit banyak memaksa Presiden SBY menetapkannya sebagai bencana nasional. Tak kurang dari mantan Gubernur BI, Darwin Nasution, menegaskan kebancian pemimpin kita dengan nada yang lebih sarkastik.
Ketidak-jelasan sikap para pemimpin menumbuhkan sikap militansi para relawan PMI sulit dibendung. Pada kadar tertentu, hal ini mungkin tidak membahayakan keselamatan orang banyak mengingat bahwa, bagaimanapun wujud kejengkelan itu, nurani mereka telah terbentuk dengan sentuhan-sentuhan kemanusiaan yang begitu dalam. Meski begitu, mereka tetap manusia biasa yang setiap saat dapat berubah sikap menjadi tak terkendali. Karena banyak diantaranya yang telah diperlakukan diskriminatif oleh pengurus PMI di berbagai tingkat organisasi. Tidak hanya di daerah, tapi juga sampai di pusat.
Dengan meningkatnya derajat tekanan akibat ketidak-jelasan sikap para pemimpin itu, militansi yang semula dapat diarahkan pada sikap-sikap positif - konstruktif sangat mungkin menjadi tindakan destruktif. Inilah yang sangat berbahaya karena Relawan PMI harus memosisikan diri sebagai korban dari yang biasanya menolong korban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H