Lihat ke Halaman Asli

Toto Karyanto

Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Menggali Gundah Sang Penyair - Bagian Buku Sejarah Bangsaku satu

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pentas monolog Bambang Oeban di Gedung Pramuka Kebumen dua tahun lalu masih menyisakan banyak pertanyaan buatku. Selain kalangan internal penggemar seni sastra dan budaya, sejumlah murid SMPN 7 Kebumen dan alumninya yang konsisten berjalan di jalur ini, suguhan langka itu sebenarnya membawa muatan yang sarat nilai. Pertama, cara mengungkap isi hati dan pikiran yang sederhana (nampaknya) agar semua orang dari beragam strata sosial, akademik dan segudang pembeda semu lain yang akhir-akhir ini digandrungi tahu isi curahan hati dan pikirannya. Sebagai penyair, Bambang Oeban punya jam terbang sangat tinggi dan tergolong langka di dunianya. Hampir semua syair yang ditulis bergaya soneta. Ragam yang telah banyak ditinggalkan.

Yang menarik bagi saya adalah kesamaan rerangka berpikir: nasionalistik, anti penjajahan dalam segala bentuknya dan sebagai anak keturunan pejuang kemerdekaan. Ini hanya rerangka luar. Sementara yang ada di dalam kami berbeda sudut pencahayaan. Ia seorang duta budaya formal dari Kementrian Budaya dan Pariwisata (sekarang ditambahkan dengan Ekonomi Kreatif), saya orang kampung biasa. Dan sejumlah beda latar lainnya.

Dari seri antologi yang diterbitkan Ufuk Press 2011, satu dari banyak judul yang ada di buku       “ Kepada Presiden Yang Ter…. “ dan sangat menarik perhatian saya adalah Buku Sejarah Bangsaku. Penggalan syair-syairnya :

Inilah kabar negeriku

buku sejarah dijajah kemajuan hayalan

selera gemar baca yang disimpangkan

dipertuan buku impor berjubal

menawarkan nikmatnya kekerasan

berbonus pukulan dan tendangan

Darah jadi simbol decak kagum

Entah mulai dari mana kabar ini berembus, tapi kegelisahan Bambang Oeban adalah miniatur kegundahan banyak orang yang menyadari bahwa negeri ini merdeka karena perjuangan anak-anak bangsa. Bukan hadiah dari bangsa penjajah seperti negeri seberang pulau kita.  Dan tayangan kekerasan hampir jadi menu harian di televisi dan media massa lainnya. Dari kekerasan fisik yang menonjolkan kekuatan otot, sampai kekerasan mental berbuah teror dan penyingkiran orang-orang yang dianggap menghalangi hasrat kekuasan atas kehidupan dan penghidupan masyarakat.  “Preman” bukan lagi mewakili keadaan orang yang benar-benar “prei makan” alias kelaparan karena tak ada bahan pangan untuk mengganjal perut kosongnya. Justru sebaliknya, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang  telah berkecukupan materi dan berkelebihan kalau sekadar untuk memakan makanan yang 4 sehat 5 sempurna. Mereka adalah para “preman berdasi” yang menduduki posisi atau hal penting di tengah masyarakat. Jika terusik kepentingannya, mereka tak segan memakai tangan sendiri atau orang lain untuk memaksa. Mulai dari intimidasi, penganiayaan dan kekerasan fisik lain. Sampai mematikan sumber-sumber penghidupan orang (orang-orang) yang mengusiknya. Sementara itu, derajat keterusikan itu tidak sebanding dengan “balasan” yang ia lakukan. Congkak dan pendendam yang mengemuka.

Caci maki jadi warna hidup sehari-hari

mengendap di otak anak bangsa

Medan laga berdarah

dianggap arena permainan

yang mengasyikkan.

Para orang tua kepusingan

mencari hiburan di lampu remang

menghamburkan uang hasil serabutan

Wajah rumah tinggal pucat pasi

Bangunan mewah hanya pameran

buku sejarah tak kelihatan

terkalahkan buku hiburan

Yah… buku sejarah adalah jurnal kehidupan yang berisi aneka ragam nilai. Ada yang bertambah, ada juga yang berkurang. Boleh jadi akan ada koreksi atas catatan keliru di masa lalu. Tujuan utamanya adalah menjaga akuntabilitas. Itu yang semestinya. Tapi, yang banyak terjadi, justru isi jurnal kehidupan menampilkan hal-hal negatif. Sementara itu, sisi positif sering diabaikan karena alasan yang mengada-ada. Mengasihani diri jadi pegangan. Minta belas kasihan tak lagi jadi nyanyi orang-orang papa di jalanan. Tanpa ragu dan malu, orang-orang yang berkecukupan harta benda itu menjadi pengemis. Penghasilan tambahan ini menjadi modal dugem (dunia gemerlap di tempat-tempat hiburan malam: diskotik, karaoke, pesta seks bebas dll). Bambang Oeban menyebutnya dengan hiburan di lampu remang. Di tempat seperti itu, uang hasil serabutan (mengemis, korupsi, manipulasi dan sejenisnya) dihabiskan untuk membuang kepenatan (kepusingan). Jangankan buku sejarah yang biasanya juga berisi nasihat dan teladan. Buku-buku pengetahuan umum yang mencerahkan cakrawala pandang manusia dan menguatkan derajat kemanusiaannya tentu akan diabaikan. Paling mungkin majalah hiburan semacam Playboy yang mempertontonkan aurat dan mengundang nafsu birahi. Imbas dari keabu-abuan sumber penghasilan dan kini semakin jelas dengan kasus tindak pidana pencucian uang hasil korupsi (Irjenpol Djoko Susilo), tindak pidana penggelapan pajak (Gayus Tambunan dll). Belum lagi sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para pejabat publik, PNS atau warga masyarakat biasa. Keremangan lampu hanya satu bahasa kias dari ketidak-jelasan pengungkapan dan penyelesaian KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Termasuk di dalamnya adalah kasus-kasus konstitusional yang menguntungkan sebagian orang di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

1363582368242575711

Inilah nasib buku sejarah bangsaku

sudah lama disingkirkan jadi pengangguran

Pengenangan perjuangan diabaikan

Para pahlawan dianggap jembatan

di abad kemajuan zaman

Di ruang perpustakaan

buku sejarah utuh bentuknya

terbengkelai terbungkus debu

terdiam dan dianggap bisu

dimakan waktu berlalu

Buku sejarah bangsaku

dibiarkan tertindas kemalangan

Buku-buku menggiurkan

membuat anak-anak jadi keranjingan

membuahkan imaji aa ii uu

menicu nafsu sebelum waktu

praktik uji coba berlaku tak ragu

orang tua sibuk mengisi saku

Buku sejarah bangsaku

selalu memendam

seribu gerutu

Inilah kabar negeriku

budaya tontonan jadi ladang persaingan

demi menjaring iklan meraup keuntungan

Aurat diperdagangkan

tak peduli nasib moral anak bangsa

sudah plesiran tak tentu arah mau ke mana?

Uang orang tua jadi sasaran

demi hasrat mengikuti

gaya hidup modern

Benang merah kegeraman Bambang Oeban kepada Rafles nampak mulai dapat dibentangkan dengan syair lain: “ Tembang Negeri Jajahan”. Ini yang akan jadi bahan galian berikutnya agar lebih memudahkan jalan dalam mereflesikan syair-syair kebangsaannya.

13635824531747254823

Tulisan ini juga dimuat di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline