Tulisan ini diawali dari ingatan peristiwa kurang lebih lima tahun yang silam. Saat itu saudara sepupu sedang mengantarkan adik iparnya untuk berangkat berjualan di kota tetangga yang jaraknya kurang lebih 60 km.
Dengan mengendarai sepeda motor dan memilih waktu pagi buta sebagai alasan menghindari keramaian jalan, sepasang kakak adik tersebut menuju tempat kost dimana sang adik tinggal. Selepas mengantar sang adik yang membuthkan waktu kurang lebih 90 menit, sang kakak pun langsung pulang menuju rumah dimana dia tinggal.
Ditengah perjalanan pulang, sang kakak mengalami kecelakaan akibat menghindari kerusakan jalan yang menyebabkan tabrakan dengan kendaraan umum. Akibat kecelakaan ini, sang kakak meninggal dunia. Mudah-mudahan Alloh menerima segala amal baiknya dan mengampuni segala kesalahannya.
Selepas dari kejadian ini, beberapa saudara dan tetangga sempat mengaitkan peristiwa yang dialami kakak sepepupu saya dengan hari nahas. Saya sendiri tidak mengetahui banyak tentang apa itu hari nahas. Setelah mengintip dari beberapa sumber bacaan, kata nahas berasal dari bahasa arab , yang artinya sial.
Lebih lanjut, berdasarkan beberapa sumber, hari nahas merupakan hari dimana seseorang dalam keadaan yang paling lemah. Menurut kepercayaan orang tua dulu di daerah dimana saya terlahir, ada beberapa hari yang dianggap menjadi hari nahas, diantaranya yang saya masih ingat adalah hari dimana orang tua meninggal.
Orang tua jaman dulu berpesan, bila kita akan bepergian, transaksi jual-beli, dan aktifitas lain yang urgen, jangan dilakukan pada hari dimana orang tua meninggal. Atau hari nahas, karena akan mengakibatkan sial. Keyakinan itu dipegang teguh oleh orang tua jaman dulu dan sekarang meskipun hanya sebagian kecil.
Bagaimana pandangan agama islam terhadap hari nahas? Berdasarkan tinjauan aqidah, meyakini adanya hari nahas cukup bermasalah karena kesialan dan keberuntungan hanya bisa diberikan oleh Alloh semata. Ketentuan beruntung atau sialnya seseorang telah ditulis di Lauhul Mahfudz sejak sehingga tidak ada kaitannya dengan hari atau momen tertentu.
Bahkan dalam kitab Fatawa al Haditsiyah, disebutkan barang siapa bertanya tentang hari sial dan sesudahnya maka tidak perlu djawab, melainkan dengan berpaling, menganggap bodoh tindakannya dan menjelaskan keburukannya. Oleh karena itu, petunjuk agama islam terkait dengan bagaimana menyikapi keyakinan hari nahas sudah sangat jelas dan gamblang.
Ada satu hal yang perlu kita ambil pelajaran terkait dengan hari saat dimana orang tua kita meninggal. Bagaimanapun, kita selaku anak tentu harus senantiasa terus menerus mengingat guna mendoakan orang tua khususnya saat hari dimana beliau meninggal, sehingga kita pada hari tersebut semestinya tidak pantas melakukan kegiatan/aktifitas yang mengarah pada pemenuhan nafsu (bersenang-senang). Wallohu 'alam....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H