Lihat ke Halaman Asli

Telaah Demokrasi Dalam Media Daring (Online)

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1429192618195498641

Media saat ini bukan lagi sebagai watchdog atau istilah anjing penjaga dalam peneyebaran informasi. Kehadiran internet sangat membuka mata publik untuk berpatisipasi dalam meyampaikan aspirasi atau gagasan yang dulunya mungkin tidak bisa dilakukan publik. Dengan munculnya internet, banyak pencerahan sekaligus tantangan dalam penyampaian gagasan baik oleh pembuat tulisan maupun yang meresponnya.

Kehadiran internet juga membuka peluang bagi para readers dan viewers untuk saling bertukar informasi dan menyampaikan gagasan sekaligus menjadi sebuah profesi yang menjajnjikan. Akan tetapi apakah penyampaian berita atau gagasan yang ada dalam media online ini sudah benar-benar terverifikasi dengan baik dan menunjukan sebuah proses demokratisasi.

Siebert (1956 ) menegaskan terkait teori liberalisasi pers bahwa doktrin demokrasi kebebasan berbicara dan pers, apakah kita menganggapnya sebagai hak alamiah dan tidak dapat dicabut atau tidak bersandar pada asumsi tertentu. Teori Libertarian diasumsikan bahwa dari banyaknya suara pers, beberapa informasi menjangkau masyarakat bisa dijadikan palsu dan beberapa pendapat yang tidak sehat.

Partisipasi Warga

Media online sangat berkembang pesat di Indonesia sehingga pengguna internet (netizens) jumlahnya tidak sedikit. Hal ini juga amat penting jika dibarengi dengan partisipasi warga dalam menyampaikan pesan-pesan kepeduliannya terhadap isu sosial. Misalnya kasus malpraktik Prita Mulyasaridengan rumah sakit terkenal di ibu kota Omni International, di mana dalam waktu sekejap ribuan koin yang merupakan kepedulian warga terhadap Prita langsung berdatangan hanya karena berita tersebut tersebar di sosial media facebook.

Kasus Prita Mulyasari versus Omni International merupakan contoh kasus dan gerakan sosial melalui media sosial. Sebelum kasus Prita Muncul, ada juga perseteruan pimpinan KPK Bibit Waluyo dengan Polri  yang dinamai dengan “cicak vs buaya”. Fenomena-fenomena tersebut sebenarnya merupakan fenomena cyberdemocration yang dilakukan oleh pengguna internet (netizens) sebagai bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial kini pun bergeser bukan hanya di ranah fisik, tetapi di dunia virtual pun bisa dilakukan.

Jones & Salter ( 2012) mengatakan salah satu proyek kunci untuk menggunakan teknologi internet untuk fasilitas warga organisasi incommercial jurnalisme dikembangkan pada tahun 2006 oleh Gannett, salah satu penerbit surat kabar terbesar di AS. Dalam restrukturisasi mengingatkan restructing BBC yang diteliti, Ganned berbalik nya ' newsroom ' menjadi ' pusat informasi', dan yang paling penting dari restrtructing ini adalah pengenalan crowdsourching produksi berita. Pembaca dan pemirsa diminta oleh organisasi berita untuk menyerahkan atau mengetahui informasi yang berhubungan dengan cerita ( Howe, 2006 ).

Citizen journalism (jurnalisme warga) merupakan salah satu fenomena baru yang hadir dengan munculnya internet dalam media online. Aspek penting jurnalisme warga  dalam demokrasi adalah sebagai pengontrol media meanstream yang kian marak dimiliki oleh para pemegang modal tertentu. Dalam hal ini, jurnalisme warga sebagai sarana media alternatif warga untuk menyampaikan peristiwa yang sebelumnya belum pernah terliput. Oleh karenanya, jurnalisme warga sebagai aspek partisipasi warga atas haknya untuk mengontrol proses demokrasi.

Beberapa hal penting dalam jurnalisme warga menurut Steve Outing sebagai langkah-langkahnya ialah meliputi 11 langkah berikut :

·Membuka komentar publik

·Warga menjadi reporter

·Pelaporan Open-source

·Bloghouse warga

·Newsroom warga ‘transparansi’ blog

·Situs jurnalisme warga berdiri sendiri; versi editing

·Situs jurnalisme warga berdiri sendiri ; versi belum diedit

·Tambahan edisi cetak

·Hybrida : pro + citizen journalism

·Mengintegrasikan warga dan pro jurnalisme dalam satu atap

·Wiki jurnalisme : Dimana pembaca editor

Ruang Publik Baru

Ruang publik (public sphere) merupakan salah satu indikator yang mennadai sebuah demokrasi itu berjalan dengan semstinya. Habermas yang merupakan penggagas konsep ruang publik amat sangat berbeda konteksnya. Dahulu pada masanya Habermas, ruang publik berada di warung kopi, salon dan sebagainya yang merupakan ruang fisik. Namun saat ini ruang publik telah bergeser dan berpindah ke dunia maya (virtual).

Peran  Media Online di Indonesia

Kehadiran media online tentunya sangat menjadi pilar demokrasi bagi warga negara dalam menyampaikan pendapat. Misalnya saja perjalanan bangsa Indonesia menuju proses demokrasi ketika jaman reformasi 1998, salah satu kunci utama untuk melakukan gerakan tersebut yakni ketika sudah ada kehadiran internet sebagai alat komunikasi sekaligus membangun opini publik.

Runtuhnya rezim soeharto ini dapat berakhir berkat kemunculan internet ini. Internet mempu menjadi alat komunikasi di kalangan mahasiswa dengan laman-laman yang diciptakan saat itu, sehingga memunculkan pergerakan reformasi. Karena sifatnya sangat cepat, internet banyak dipakai oleh media online sebagai penyampaian informasi. Namun karena untuk mengejar kecepatan itulah  kerap kali media online isi beritanya kurang akurat dan belum terverifikasi.

Perkembangan media  di Indonesia ini pertama kali yang muncul di internet oleh Republika Online (www.republika.com) pada agustus 1994. Kemudia disusul oleh awak media Tempo Group karena majalahnya yang dibredel pada masa Orde Baru, maka dari itu muncul tempointeraktif.com (sekarang tempo.com), dan kemudian disusul dengan media-media lainnya seperti Waspada Online dan Kompas Online.

Namun sang pelopor media online yang menjadi pakem media online di Indonesia adalah Detik.com (www.detik.com) yang mengawali pada tahun 1998 oleh Budiono Darsono, Yayan Sopyan, Abdul Rahman dan Didi Nugraha. Tujuannya agar berita yang ditulis ini cepat sampai pada pembaca tanpa menunggu cetak dan keputusan editor terlebih dahulu, dan ini merupakan bentuk adanya partisipasi publik (citizen journalism).

Filosofi terdalam dari media massa menurut Eko Maryadi selaku ketua umum AJI adalah sebagai alat untuk membebaskan manusia dari keterbodohan. Selain itu juga, dalam ruang politik demokrasi, media massa adalah seperangkat medium untuk menyampaikan aspirasi publik. Oleh karena itu, seyogyanya jurnalisme online tetap mempertahankan etika dan prinsip-prinsip jurnalistik sebagai landasan pemberitaannya.

Dari pembahasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa demokrasi itu luwes. Artinya dalam melakukan politik demokrasi, kini harus menyesuiakan dengan zaman yang kini serba tekhnologi. Kehadiran internet tentu salah satu indikator dari pencerahan atas tekhnologi informasi. Namun sekaligus menjadi tantangan yang harus disikapi bersama terkait etika bermedia.

Dalam uraian tersebut juga dapat diambil kesimpulan bahwa utnuk mengawal demokrasi, amat penting warga juga berpartisipasi dalam mengontrol bahkan turut mewartakan apa yang terjadi di sekitarnya. Hal ini merupakan salah satu pilar demokrasi, di mana setiap warga negara berhak menyampaikan pendapatnya. Dengan hadirnya media online, kini bukan hanya para jurnalis media terkemuka saja yang dapat menyampaikan liputan atau gagasannya, namun setiap warga berhak menjadi jurnalis.

Referensi.

Siebert, Fred S dkk. 1973. Four Theories of The Press. University of Illions Press Urbana : Chicago/London.

Jones, Janet & Salter, Lee. 2012. Digital Journalism. Sage Publication; London/Los Angeles/New Delhi/Singapore/Washington DC.

Margianto, Heru & Syaefullah, Asep. Media Online: Antara Prmbaca, Laba, dan Etika Problematika Praktik Jurnalisme Online di Indonesia. pdf AJI Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline