Lihat ke Halaman Asli

Totenk Mahdasi Tatang

pembina Sanggar Lidi Surabaya

Senna si Mata Elang (2)

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku tulis, menghibur suka dukamu

Dan kurajah pada bait-bait Doaku

Melebarlah cakrawalamu,

Matamu yang elang tetaplah tajam

Jiwamu yang karam, usailah kau sarang

Congkaknya dunia, menanti seulas senyuman

Dan itu, senyummu.

Berjalanlah Senna, tetaplah berjalan

Sudah kau lewati tiga belas lintasan

Tikungan-tikungan tajam sudah biasa kau taklukan

Kawanmu adalah Terjalnya hamparan jalan

Berjalan, dan tetaplah tenang

Karena persoalan-persoalan hidup akan terus bergelombang

Menghantam tanpa akan bertemu bosan

Berjalanlah…

Lunakkanlah kecengengan perasaan

Maka jiwamu, adalah waktu tak berbatas ruang

Kuingat telah kau lantunkan

Sebait lagu tentang langit dan awan

Ayahmu jingga, tanpa mampu kau dekap

Angkasa lusuh, lambaikan tangan jejali harapan

Nyanyianmu merupa gigauan

Romansa dilintasan kedelapan

Kau meracau, kau dimabuk risau

Tetapi hidup, tak bernafas di lampau

Berjalanlah…

Lunakanlah kecengengan perasaan

Maka jiwamu, adalah waktu tak berbatas ruang

Lihatlah, didepan ada puluhan bahkan ratusan luka

Mereka akan melintas bahkan riskan ditahan

Lewatilah tanpa mengeluh, sekalipun satu desah

Nafas keluh, hanya akan membuat dawai nasib berdiam

“aku lelah, aku butuh peristirahatan”

Tidak senna, peristirahatan akan tiba dengan baju kematian

Berpikir istirahat adalah daya mati yang dihadirkan

Alunan nafasmu telah menyaksi segala kehidupan

Dan ragam tantangan dengan segala warna tajam

Adalah daya hidup, adalah senjata melepas rantai kelam

Berjalanlah…

Lunakanlah kecengengan perasaan

Maka jiwamu, adalah waktu tak berbatas ruang

“kenapa aku harus berjalan sendiri?”

Lalu apa yang ditakutkan jika memang harus sendiri?

Karena lahirmu pun telanjang dan sendiri

Maka berjalanlah tanpa risaukan hidupmu yang sendiri

“tidak, aku mulai rapuh, sesosok saja, aku benar butuh”

Itu muncul dari otakmu yang lumpuh

Kau tak percaya, betapa tubuh dan pribadimu teramat tangguh

Segeralah luruskan dan beningkan kembali pikiranmu yang keruh

“kau tak mengerti dan tak mau pahami apa yang bergelut dalam benakku”

Lantas kau berharap dimengerti? Dipahami? Itu?

Hidup dengan mengharap pengertian orang lain, hanyalah merendahkan dayamu

Tidaklah lebih, dari wujud bahwa daya hidupmu buntu

Kesempurnaan yang kau miliki, maka sekedar semu

Lekas lupakan talu-talu keluhmu

Berjalanlah…

Lunakanlah kecengengan perasaan

Maka jiwamu, adalah waktu tak berbatas ruang

“aku manusia, dan aku bisa sedih pula”

Tentu saja tidak akan ada larangan untukmu bertemu lara

Namun terkait suka dan duka

Semua orang memilikinya, maka tak ada yang istimewa

Hanyalah sebentuk kesimpulan dari apa yang terlaksana

Maka sukamu, maka dukamu, tak perlu berdiam lama

Ditahan, hanya mampu membuatmu terlena

“jika memang pada akhirnya berada disuka dan duka,

lalu apa perlunya proses kehidupan?

Aku lebih tertarik bicara langsung hasil, tak peduli hasilnya persinggahan duka “

Karena tidak satupun manusia yang bisa memastikan hasil akhir

Selain kematiannya .

Proses hidup adalah upaya menyiapkan kematian

Setiap orang berhak menentukan

Apakah akan mati sebagai pahlawan, pecundang, atau mungkin bajingan

Juga kamu berhak menentukan kematianmu kelak,

Sejauh mana kau hormati hidupmu, selayak itulah harga kematianmu.

Sepatutnya kau tak harus mudah berhenti meraih berbagai kemungkinan

Dan proses pencarian hidupmu, adalah bagaimana meraih kemungkinan-kemungkinan baik

Mewujud nyata, hingga menjadi hakiki milikmu

Dan apa yang telah dan sudah kau miliki

Rawatlah selagi ada dengan baik,

Karena kita tidak pernah tau,kapan kehilangan akan singgah

Teruslah mencari , jangan ada kata berhenti

Berjalanlah…

Lunakanlah kecengengan perasaan

Maka jiwamu, adalah waktu tak berbatas ruang

Aku tulis, menghibur suka dukamu

Dan kurajah pada bait-bait Doaku

Melebarlah cakrawalamu,

Matamu yang elang tetaplah tajam

Jiwamu yang karam, usailah kau sarang

Congkaknya dunia, menanti seulas senyuman

Dan itu, senyummu.

Surabaya, 23 Juli 2013

Totenk MT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline