Merapi adalah sebuah fenomena. Termasuk salah satu gunung paling aktif di dunia membuat Merapi menjadi tempat yang sangat berbahaya. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana dampak letusannya pada tahun 2010 silam, sekitar 300-an orang tewas dan ribuan rumah hancur. Efek letusannya yang masih tersisa sampai sekarang seakan menjadi tugu memorial bagi kita untuk tetap waspada. Semua itu terjadi pada saat Merapi menggeliat dari tidurnya. Dalam keadaan tenang beristirahat, gunung ini juga membentuk sebuah fenomena yang lain, yaitu keindahan eksotik yang menjadi magnet bagi setiap orang untuk, walau sebentar saja, tetap menoleh kepadanya. Situasi seperti ini yang dimanfaatkan oleh kami, para pendaki dan penikmat gunung, untuk menyapanya dari dekat. Merapi pada masa-masa tenang menjadi taman bermain yang luas bagi banyak orang. Kita dapat memilih dan melakukan apa yang kita sukai di sekitar lerengnya. Sekedar berekreasi, hiking dan berpetualang, off road dengan motor trail, atau downhill dengan sepeda gunung. Dia memberikan begitu banyak kegembiraan dan hiburan. Bagi warga-warga kota yang tersebar di sekelilingnya, Merapi menjadi sebuah oase yang menyejukkan setelah melewati hari-hari rutinitas yang melelahkan. [caption id="attachment_201542" align="aligncenter" width="300" caption="panorama puncak merbabu dilihat dari pos 1."]
[/caption]
Setiap bulan Agustus telah menjadi ritual bagi para pendaki untuk merayakan hari kemerdekaan di gunung, tak terkecuali pada tahun ini. Tujuh belasan tahun ini bebarengan dengan datangnya bulan puasa Ramadhan, salah satu faktor yang mungkin membuat jumlah pendaki berkurang. Tetapi itu tidak mengurangi minat yang berkunjung untuk upacara dan berpuasa di Merapi. Indra, salah satu pendaki yang berpapasan dengan saya di Watu Gajah, jalur sebelum menuju Pasar Bubrah, mengatakan dia baru saja berbuka dengan seteguk air dan sepotong roti. Saat itu barusan lewat waktu magrib, saya masih berjalan tertatih-tatih di jalur tanjakan berbatu. Indra, yang mendaki seorang diri, begitu semangat bercerita. "Kita sudah dekat! Sehabis tanjakan ini nanti ketemu memoriam, setelah itu ada jalan turunan menuju Pasar bubrah. Di sana kita bisa memasang tenda, makan malam, dan istirahat untuk persiapan ke puncak besok pagi.". Ucapannya seperti perkataan seorang nabi, yang memberikan pencerahan bagi saya yang berjalan bagai seorang pendosa yang berbeban berat. [caption id="attachment_201546" align="aligncenter" width="300" caption="puncak merapi dihiasi jutaan bintang."]
[/caption]
Hari telah menjelang malam, waktu menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit ketika kami tiba di Pasar Bubrah, tempat kami bermalam. Menurut yang saya baca di museum Merapi di Ketep Pass Magelang, Pasar Bubrah pada zaman Merapi Tua sekitar 2000 tahun yang lalu adalah sebuah kawah. Setelah sebuah letusan eksplosif mengakhiri riwayat kawah ini sekaligus menjadi cikal bakal terbentuknya puncak baru seperti sekarang ini. Pasar Bubrah sendiri artinya pasar yang berubah, tidak kelihatan. Konon di sini merupakan tempat transaksi mahkluk-mahkluk gaib. Tapi yang jelas mulai malam ini sampai besok tempat ini akan dipenuhi mahkluk-mahkluk ajaib seperti kami, yang bisa dilihat dengan kasat mata. Pasar Bubrah adalah tempat yang kondusif untuk mendirikan tenda, selain luas dan datar, juga terdapat sejumlah bebatuan sebesar bis yang mampu melindungi tenda dari tiupan angin. Karena diapit lembah di sisi barat dan timurnya, tiupan angin menjadi hambatan untuk bermalam disini. Tapi pada malam ini angin bertiup tidak begitu kencang, udara tidak begitu dingin, dan langit dihiasi oleh jutaan bintang. Di sisi selatan, kami bisa melihat puncak Merapi berdiri dengan penuh wibawa. Setelah memasang tenda, kami mulai menyiapkan makan untuk malam ini. Bencana kecil datang ketika saya tidak membawa nesting (alat memasak) yang ketinggalan. Itu berarti kami tidak bisa memasak sayur dan menggoreng telur pada malam ini. Beruntung kami bisa meminjam alat masak dari salah satu rombongan pendaki sehingga tidak jadi menyantap makanan dingin. Sebagai rasa terimakasih kami membagikan sebungkus kurma pada mereka. [caption id="attachment_201547" align="aligncenter" width="322" caption="para pendaki berfoto sebelum pelaksanaan upacara bendera."]
[/caption] Menjelang subuh, ketika derap langkah dan suara-suara pendaki yang baru saja tiba membangunkan saya. Sebagian besar memang memulai pendakian pada tengah malam. Itu membuat suasana pagi ini lebih ramai daripada kemarin, karena berangkat siang maka kami termasuk rombongan awal yang tiba di sini. Tenda-tenda tersusun di sekeliling tempat ini, saya menghitung ada sekitar 20-an tenda yang terpasang. Sebagian besar sudah terbangun dari istirahatnya, ada yang memasak, berfoto, dan sebagian lagi sudah memulai pendakian ke puncak (summit attack). Rombongan di selatan kami mulai persiapan buat upacara bendera. Sebagian dari mereka berpakaian seragam sekolah dan pramuka serta berkemeja batik. Layaknya murid dan guru yang mengikuti upacara di sekolah. Hal ini membangkitkan romantisme saya ketika masih duduk di bangku sekolah. Saya segera menyiapkan peralatan yang diperlukan untuk summit attack. Ari, teman yang bersama dengan saya dalam pendakian ini, memutuskan untuk tinggal di sini. Saya akan berangkat sendiri. Rasa penasaran selalu menyelimuti saya untuk melihat kondisi puncak pasca letusan hebat pada tahun 2010 silam. Medan menjelang puncak adalah rute yang paling sulit, dengan bebatuan tajam yang rapuh sewaktu-waktu bisa lepas menggelinding menghantam apa saja yang ada di bawahnya dan jalan yang terjal menanjak hingga kemiringan 60 derajat. Diperlukan konsentrasi dan kewaspadaan pendaki agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Di tengah perjuangan saya mencapai puncak, lagu Indonesia Raya terdengar dikumandangkan, tampaknya upacara telah dimulai. Keputusan ke puncak membuat saya tidak bisa mengikuti upacara spesial ini. Sedikit menyesal. Nyanyian Indonesia Raya yang menggema seolah-olah mengingatkan kepada setiap mahkluk yang bernafas di gunung ini untuk hening sejenak dan menghormati sang Merah Putih, tanah air yang telah merdeka 67 tahun yang lalu. Suasana yang tadinya sedikit menegangkan berubah menjadi khidmat, menggugah hasrat dan ekspresi kecintaan dan bakti akan bumi pertiwi. [caption id="attachment_201548" align="aligncenter" width="300" caption="pemasangan bendera merah putih."]
[/caption] Ini merupakan pendakian saya yang keempat ke Merapi, kali kedua dalam rangka tujuh belasan. Setiap tahun para pendaki beramai-ramai datang ke sini untuk merayakan tujuh belasan. Sepanjang itu pula Merapi menjadi saksi bisu terhadap tingkah laku dan ekspresi para pendaki memaknai kemerdekaan ini. Anugrah. Satu kata yang saya tangkap pada pendakian kali ini. Hidup di bumi khatulistiwa yang indah dan alam kemerdekaan ini adalah sebuah anugrah Sang Khalik yang tak ternilai. Keindahan dan kemerdekaan yang menyatu ini adalah milik yang perlu kita lestarikan. Sama seperti Merapi yang berubah, diapun dapat berubah. [caption id="attachment_201549" align="aligncenter" width="300" caption="puncak Merapi terkini."]
[/caption] Sore itu sekitar pukul 3, kami telah menjejakkan kaki di basecamp Selo. Beberapa orang masih beristirahat di bale-bale basecamp, yang lain bersiap-siap untuk pulang. Saya menyempatkan diri untuk beres-beres dan bersih-bersih. Saya menoleh ke selatan, puncak Merapi sudah tidak kelihatan karena tertutup kabut. Meskipun begitu pesonanya tetap membekas di hati. Pesona dan keindahan Merapi membuat saya tidak punya alasan untuk tidak mencintai Indonesia. [caption id="attachment_201550" align="aligncenter" width="325" caption="pendaki dengan membawa sang merah putih berjalan setengah merangkak menuju puncak."]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H