“De mortuis nihil nisi boni”
Tentang orang yang sudah meninggal,
jangan bicarakan kecuali yang baik-baik
Sampai detik ini, saya belum sanggup mendengarkan lagu “Dalam kerinduan”nya grup D’Mercy’s tanpa berlinang airmata. Salah satu lagu favorit Mama. Dan setiap mendengar lagu itu diputar, hati saya masih terasa teriris, tersayat dan pilu.
Dua minggu sebelum Mama ber”pulang”, beliau yang biasanya lebih senang sendiri mendadak menjadi orang yang paling tidak suka ditinggal sendiri. Selalu ingin ditemani. Dan hal yang paling ajaib adalah, posisi tidurnya yang menjadi aneh. Beliau selalu minta tidur bersandar di dada saya. Jadi saya akan duduk bersandar di dinding, dan kemudian beliau bersandar di badan saya. Kata beliau, tidur dalam posisi itu sangat nyaman. Atau tidur dengan posisi kepala beliau dipaha saya. Dan setiap itu semua, tangan beliau selalu erat menggenggam tangan saya. Mungkin, jika saat itu saya bisa menebak berapa lama lagi waktu beliau di dunia ini, tidak akan pernah genggamannya lepas dari tangan saya, tidak akan pernah membiarkan pegal dan kram badan melepaskan sandarannya, tidak akan pernah sesaatpun meninggalkannya, sama sekali. Tapi saya benar-benar tidak tahu rahasia umur manusia yang menjadi hak prerogative milik Tuhan semata.
Saya masih bisa mendengar suara beliau memanggil-manggil saya setiap sadar bahwa saya tidak ada di depannya. Maka saya akan melongokan wajah di pintu kamar beliau sambil memberitahu, “Sebentar ya, Ma. Mbak Osy lagi ini / itu / begini / begitu / dll, dll … “. Dan biasanya beliau menjawab, “Jangan lama-lama ya, mbak.” … dan hanya beberapa menit kemudian, suara beliau kembali memanggil-manggil saya. Begitu terus menerus …
Setiap malam, beliau akan ikut menemani saya bekerja. Saya sibuk dengan pekerjaan di laptop, dan beliau saya sibukkan dengan memperdengarkan lagu-lagu atau murotal al qur’an dari laptop saya. Setidaknya, saya bisa membuat beliau sedikit tenang dan nyaman sampai pekerjaan saya selesai, untuk kemudian kembali menyandar di dinding dan membiarkan tubuh saya menjadi tempat sandaran beliau sambil membacakan buku atau mengaji di dekat telinga beliau.
Saya ingat, harus lari mengejar tukang sayur disiang hari karena beliau tiba-tiba bilang, “Mama pengen makan ikan goreng, mbak.” … Bagi saya, permintaan yang keluar dari mulut beliau adalah titah bagi saya … her wish is command, apapun bentuknya. Saya bisa datang ke rumah beliau tengah malam hanya untuk mengantar pesanan beliau yang bilang jus suplemennya habis, saya bisa membatalkan rencana liburan saya saat beliau minta diajak pergi berenang bersama cucu-cucunya, saya bisa kabur dari kantor saat beliau “ngidam” pengen makan sop iga tiba-tiba. Namun saya juga menyadari, masih banyak juga wishes beliau yang belum bisa saya penuhi sampai saat ini. Masih banyak hal-hal yang saya lakukan untuk beliau yang bahkan tak akan bisa membayar dan membalas sedikitpun dari apa yang telah beliau berikan dan lakukan untuk saya.
Andai saja … andai saja saya tahu kapan “roh” beliau akan bermutasi ke kehidupan yang lebih tinggi, saya tidak akan membiarkan suara beliau keluar dari mulutnya untuk berteriak memanggil saya. Saya akan membiarkan pekerjaan-pekerjaan saya tidak selesai hanya untuk bisa tetap menjadi sandaran beliau sambil membacakan ayat-ayat suci dan cerita-cerita atau memperdengarkan lagu-lagu dan murotal indah. Saya akan …, saya akan …, saya akan …, dan milyaran “saya akan” bermain-main di kepala saya saat beliau benar-benar pergi selama-lamanya. Saya mungkin adalah orang yang paling terpukul akan kepergian beliau, walaupun jauh hari sebelumnya saya malah sudah mengingatkan adik-adik untuk bersiap menerima kenyataan terburuk. Saya memang anak yang besar di luar rumah, menurut saya. Dan kurang lebih memang benar adanya. Sebagai anak yang dikenal paling cuek diantara anak-anak beliau, ternyata justru sayalah yang paling kuat terkena dampak kepergian beliau. Saya memimpikan beliau setiap malam, masih sering mendengar panggilan suara beliau, dan untuk sekian lama saya tidak mampu membicarakan bahkan memikirkan beliau lebih dari lima menit tanpa menitikkan air mata. Padahal, saat beliau masih hidup, sayalah yang paling berjarak dengan beliau.
Saat Papa wafat, mungkin tak selamanya Mama merasa beruntung hidup lebih lama, karena dengan demikian beliau “terpaksa” menyaksikan segala tingkah polah anak-anaknya yang bertransisi menjadi manusia dewasa, lengkap dengan konflik dan pertentangan batin yang turut menyertai proses tersebut. Dan saya, sebagai anak paling tertua, secara legitimate dan absolute, tentu saja menjadi kepanjangan tangan Mama. Saya dan Mama “terhubung” dalam masalah-masalah dan PR-PR yang harus saya selesaikan. Di peran itu, saya merasakan banyak interaksi kami berdua bertransisi menjadikan saya dari seorang kakak menjadi orang tua dan manusia. Itulah “hadiah” terbaik yang beliau berikan pada saya, juga hadiah terbaik yang kelak bisa saya berikan bagi anak saya. Itulah persembahan terbaik yang bisa saya berikan pada beliau sebagai ibunda saya.
Di pagi ini, di hari kelahiran Mama, saya hanya ingin mengenang “keberadaan” beliau saat masih bersama kami. Mengenang beliau di saat-saat bahagia, saat-saat yang menyenangkan. Mama memang hanya seorang wanita biasa, ibu rumah tangga, tanpa karir, tidak sempurna, banyak kekurangan dan kelemahan sebagai manusia … namun saya hanya ingin mengingat beliau sebagai sosok wanita kuat dan tangguh melebihi wanita karier dengan jabatan eksekutif manapun, yang mengajarkan tentang ilmu hidup, cinta, kedewasaan dan hal-hal positif lainnya yang tidak mungkin didapat dari sekolah tinggi manapun. Saya ingat senyum bahagia beliau saat Hari Raya Idul Adha terakhir lalu, berkumpul bersama adik-adik beliau yang ternyata menjadi moment terakhir keluarga besar bersama beliau. Bila … saat ini beliau masih ada, kami, dan keluarga besar pasti akan berkumpul bersama untuk merayakan hari ulang tahun beliau dengan menu makanan-makanan sesuai selera beliau, kue tart kesukaan beliau, bersama siraman doa dan cinta yang berlimpah dari anak-anak, menantu, cucu-cucu, adik-adik dan keponakan beliau.
Dan saat ini, saya hanya ingin menundukkan kepala, membisikkan doa tulus dan sayang untuk Mama sebagai manusia yang telah melahirkan saya ke dunia ini, membesarkan dan merawat, mendidik dan membentuk saya hingga seperti saat ini. Mengucapkan milyaran terima kasih dan cinta saya atas semua itu, mengucapkan terima kasih pada Tuhan yang telah mengirimkan malaikat-Nya sebagai Ibu saya, serta menitipkan doa agar Tuhan memberikan Mama tempat terindah di sisi-Nya.
Kemudian, suara lagu “Dalam kerinduan” dari D’Mercy’s kembali terngiang di telinga saya, namun suara Mama yang menyanyikannya … “Dalam kerinduan, kumenanti, sayang. Dalam kerinduan, hatiku … “ …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H