Lihat ke Halaman Asli

“Kartini” di Tengah Gempuran Media

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang ‘anak gadis modern', gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang saya sukai dengan hati dan jantung saya, anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetapi gembira dan asyik, yang berdaya upaya bukan hanya untuk keselamatan bahagia dirinya sendiri saja, melainkan juga untuk masyarakat luas besar itu, yang ikhtiarnya pun akan membawakan bahagia kepada banyak sesamanya manusia..."

(Surat R.A. Kartini kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899; dikutip oleh Valentina, R., 2004, dalam Jurnal Perempuan No. 37).

Kartini: cahaya perempuan Raden Ajeng Kartini, lahir 21 April 1879, termasuk sangat beruntung bisa mencicipi pendidikan hingga umur 12 tahun, di tengah kesulitan dan keterbatasan hidup masyarakat umum di bawah penguasaan kolonial Belanda. Namun, keberuntungannya itu tidak dia siasiakan. Suatu keganjilan yang sulit diterima oleh orang awam masa itu adalah kegigihan hati Kartini untuk membela kaum perempuan dari berbagai bentuk ketidakadilan, termasuk atas pendi Kartini begitu mencintai Ayahnya. Di tengah tradisi aristokratik dan budaya Jawa yang kental, Kartini terpaksa menerima permohonan Ayahnya untuk dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Dengan segala pengorbanan yang harus dia relakan, satu impian yang terus menggelora dalam hatinya adalah menegakkan keadilan. Seiring waktu, kesadaran perjuangan Kartini pun makin tegas:

"Kartini's concerns were not just in the area of the emancipation of women, but also the problems of her society. Kartini saw that the struggle for women to obtain their freedom, autonomy and legal equality was just part of a wider movement"  (http://en.wikipedia.org/wiki/Kartini...)

Kecerdesan Kartini membuatnya mudah untuk memperoleh akses terhadap informasi dan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bahasa Belanda. Dengan kefasihan bahasa itu pula dia bisa surat-menyurat dengan pen pal-nya dari negeri kincir angin nan jauh. Salah satunya, yang kemudian menjadi sahabat karibnya, adalah Rosa Abendanon. Malang tak bisa diduga, lima hari setelah melahirkan Kartini meninggal pada usia 25 tahun (17 September 1904). Di kemudian hari tahun 1911, surat-sura Kartini diterbitkan menjadi buku dengan judul Door Duisternis tot Licht (Out of Dark Comes Light), Habis Gelap Terbitlah Terang. Tidak hanya itu, pada tahun 1964 Presiden Soekarno menetapkan hari kelahiran Kartini, 21 April sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasa dan perjuangannya. "Kartini-Kartini" muda: krisis kesadaran Masa sekarang hanya sedikit orang yang masih bisa menyadari akan perjuangan Kartini pada masa itu, dan hal ini saya pikir hampir linier dengan perjuangan tokoh-tokoh nasional lainnya. Generasi sekarang sudah tercerabut. Pelajaran sejarah yang menjadi tumpuan akhir untuk pewarisan nilai-nilai sejarah malah dianggap tidak menarik, tidak menyenangkan! Mungkin karena sejarah selama ini terlanjur disalahgunakan. Karl Marx pernah menegaskan bahwa realitas pengalaman hidup individu akan menentukan kesadarannya. Bagi Marx:

"it is not the consciousness of men that determines their existence, but, on the contrary, their social existence that determines their consciousness."  (Marx, 1859, A Contribution to the Critique of Political Economy).

Realitas historis hari ini tentu tak punya sisi paralel dengan masa Kartini dulu. Ketika pengalaman materil berubah, maka kesadaran pun ikut menyesuaikan. Sayangnya, perubahan kesadaran perempuan masa kini bertolak-belakang dengan jiwa "memberontak" yang terus bergetar dalam hati Kartini. Pengalaman materil kaum perempuan dewasa ini sudah didominasi oleh gaya hidup, ketimbang "perjuangan hidup". Fase linier yang wajib dijalani oleh perempuan (khususnya kaum muda) sudah ditentukan oleh berbagai mesin pencetak mitos-mitos ke-ideal-an. Siapa saja yang merasa perempuan, tidak mengikuti "doktrin" itu seolah menjadi keanehan, dan akan tersingkir dari pergaulan masa kini. Sebuah mekanisme cuci otak yang merembes. Media menjadi alat ideologis bagi pihak-pihak berkepentingan untuk terus mendengungkan doktrin-doktrin ke-ideal-an sosok perempuan. Pada akhirnya, kesadaran kaum perempuan (dan juga laki-laki) tidak lagi seperti yang ditegaskan oleh Marx, melainkan sudah jauh berbeda: lebih halus dan mulus. Kesadaran yang mengendalikan tindakan itu datang dalam wajah yang mempesona dan menyenangkan. Dia tidak keras, sulit, mengiris hati, atau menguras keringat. Pikiran untuk berubah atau pun mengubah, sulit muncul. Daya nalar kritis mati, dan tertanam sangat dalam. Ideologi media: memanjakan perempuan Tabiat media sesungguhnya tidak lepas dari kepentingannya. Media, khususnya televisi, iklan, dan film sangat kental dengan kepentingan ekonomi. Mereka adalah corong ampuh untuk melipat-gandakan keuntungan para pemilik modal. Dan hampir setiap saat, pencapaian tujuan itu ditempuh dengan cara-cara yang ideologis. Penyampaian informasi oleh media pun tidak lagi dimaksudkan untuk mengurangi ketidakpastian (uncertainty reduction) seperti yang dihipotesiskan dalam teori informasi, melainkan justru menanamkan ketidakpastian. Secara pelan tapi pasti, ketidakpastian yang dilanggengkan terus berujung pada ketidaknyamanan, dan rasa was-was (anxiety) yang terus menghantui. Pencitraan figur-figur ideal tentang perempuan, mulai dari bentuk tubuh, warna kulit, gelombang rambut, hinggu tebalnya lipstik selalu disebarkan dalam tanda-tanda biner (langsing vs gemuk, hitam vs putih, dan seterusnya). Kecemasan ini menjadi sebuah alat. Dalam alam kapitalisme tingkat advanced dewasa ini, proses konsumsi harus terus didesak, dilipatgandakan, dan instant. Kapitalisme lanjut sudah bertransformasi dari bentuk klasiknya yang fokus pada produksi. Saat ini, semakin tinggi tingkat konsumsi (tidak perduli butuh atau tidak), makin baik. Nah, kecemasan yang terus diciptakan oleh media seperti dijelaskan di atas adalah the driving force to boost consumption. Lewat konsumsi, seseorang ingin menemukan "identitas".

"Konsumsi barang dapat mengkomunikasikan makna simbolik tentang identitas, status, dan kelas. Setiap objek material bisa memiliki artinya sendiri, baik kekuasaan maupun kekayaan itu sendiri. Makna ini secara sosial diciptakan dan dibagikan. Dengan memiliki suatu objek material, seseorang berusaha memiliki makna simbolis yang melekat pada objek dan menetapkan identitas mereka." (Handayani, 2010, dalam BASIS, No. 1-2 Tahun ke-59).

Representasi ideologis perempuan dikonstruksi dengan melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan dalam tradisi maskulinitas masyarakat patriarkal. Perempuan adalah mahkluk emosional, kurang rasional, gila belanja, sibuk urus diri, dan sebagainya, bermuara pada eksploitasi tubuh. Tubuh perempuan dalam konstruksi media sudah terkomodifikasi. Dalam tataran ini, komodifikasi adalah mengubah tanda (bagian tubuh) menjadi barang bernilai tukar. Maka, tak heran lekukan-lekukan tubuh acap kali disandingkan dengan produk-produk iklan, walaupun fungsi barang tersebut tak ada relevansinya dengan dunia perempuan. Dari kekhawatiran atas diri, kemudian perempuan diberi obat penawar. "Obat" ini tidak pahit, tetapi manis, menggairahkan. Obat itu adalah: memanjakan diri. Mengkonsumsi (shopping) hanyalah salah satu obat penawar yang menyenangkan itu. Pada fase menakut-nakuti ini, perempuan masih ditempatkan sebagai objek oleh media. Objektifikasi ini bisa dalam proses representasi imaji, maupun sebagai mahkluk emosional-konsumtif yang tidak nyaman dengan dirinya. Fase berikutnya boleh jadi lebih halus lagi. Perempuan yang tadinya diobjektivikasi, kini mengambil posisi sebagai subjek yang sadar akan tubuhnya untuk diobjektivikasikan. Seiring makin geniusnya otak pasar dalam mengeksploitasi tubuh perempuan, saat ini perempuan malah secara sadar melakukan tindakan itu sendiri. Perempuan dalam berbagai bentuk produksi kultural tidak lagi menemukan alasan mengapa "menampilkan" tubuh sebagai sebuah tindakan eksploitatif-ideologis. Tindakan itu telah berubah menjadi ekspresi diri wanita "modern" yang ideal. Kartini: mengapa tak dihidupi? Mengapa spirit Kartini kurang dijiwai oleh perempuan generasi-generasi muda sekarang? Faktor penyebabnya bersifat multi-dimensi, mulai dari faktor politik, faktor budaya, hingga pendidikan. Represi dandepolitisasi yang berlangsung lama di masa lalu, membuat kaum perempuan makin terkungkung dalam ruang domestik. Begitu represi tersebut tumbang, segera ruang domestik digantikan oleh kungkungan ideologis media yang menawarkan gaya hidup "ideal" bagi perempuan. Perempuan terus dibuat sibuk dengan dirinya sendiri, hingga lupa untuk masuk dalam ruang publik politis. Faktor budaya mungkin tidak begitu dominan lagi, tetapi tetap mengekang. Nilai-nilai budaya yang kurang memerdekakan perempuan perlu diinterpreasi ulang sesuai dengan konteks sosial kekinian. Sehingga, nilai-nilai budaya yang ada tidak dijadikan sebagai alat oleh kelompok tertentu guna meraih keuntungan, atau melanggengkan kekuasaan. Kekuasan di sini bisa bersifat formal, maupun non-formal. Memang, pendidikan mestinya menjadi buffer zone dari degradasi kesadaran. Pendidikan yang berorientasi pada kehidupan perlu disebarluaskan lewat revitalisasi nilai-nilai pembebasan dari para tokoh historis di tanah air, seperti Kartini, Cut Nyak Dien, dan tokoh lainnya. Jangan sampai nilai-nilai pembebasan yang mereka torehkan, mengalami erosi oleh gempuran media yang menawarkan gaya hidup "modern" dan gaul! Gejala ini tampaknya sudah lama menginfiltrasi dunia kampus. Untuk memulai langkah baru, selain merombak tiga dimensi di atas, perempuan harus berkecimpung dalam bidang-bidang yang menyangkut kepentingan publik. Dengan melibatkan diri dalam spirit kepedulian terhadap sesama, entah dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial, perempuan niscaya akan membangkitkan kembali spirit hidup Kartini: sebuah ketekuan hati yang memungkinkan kaum perempuan dapat mencicipi pendidikan. Nb:

  1. Foto Kartini diambil dari: http://theyoss.wordpress.com/2009/04/17/kartini-habis-gelap-terbitlah-terang/
  2. Foto kedua diambil dari: http://expat21.wordpress.com/2009/04/



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline