Lihat ke Halaman Asli

Paradoks Internet: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_119724" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Internet merupakan kekuatan baru yang dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang: ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lainnya. Efisiensi, kecepatan, jangkauan yang luas, dan kapasitas tukar-menukar informasi menjadi fitur tak ada tandingan dari teknologi baru ini. Internet menciptakan kemungkinan baru untuk berkomunikasi, lepas dari intervensi kepentingan ekonomi dan politik. Banyak pengamat mengamini bahwa konsep ruang publik Habermasian telah mengalami transformasi. Jika konsep ruang publik klasik itu terikat oleh ruang dan waktu, didominasi oleh kaum laki-laki, elitis, dan cenderung borjuis, internet adalah ruang publik yang omnipresent, universal, equal, dan lebih "me-rakyat". Internet dengan berbagai fitur media baru di dalamnya sangat strategis untuk dimobilisasi menjadi ruang deliberasi demokratis. Selain sebagai alat kontrol politik lewat opini publik, sekaligus menjadi electronic political education. Potensi inilah yang kita butuhkan dalam konsolidasi demokrasi yang belum tuntas juga sejak reformasi digulirkan. Masih segar dalam ingatan, dukungan yang masif kepada rekan Prita Mulyasari dalam kasus penuntutan atas pencemaran nama baik dari salah satu rumah sakit di Jakarta. Informasi yang menggelinding ke segala arah mampu mengumpulkan simpatisan dan dukungan untuk Prita dari berbagai kalangan. Bahkan, gerakan online ini beresonansi dengan pengumpulan koin untuk Prita. Kasus lain adalah dukungan para netizen kepada dua anggota KPK, Bibit & Chandra, yang kemudian ikut menaikkan suhu politik tanah air, yang akhirnya mendorong Presiden perlu angkat bicara soal kasus tersebut. Maka sangat tepat apa yang ditegaskan oleh Tempo bahwa gerakan publik melalui internet, facebook, dan twitter, menekan pejabat dan penegak hukum yang melukai rasa keadilan menjadi tren masa depan demokrasi. Inilah era baru gerakan sosial dan politik kita (Tempo, 28/12/2009). Optimisme ini pantas untuk dikritalisasikan hingga ke "akar rumput". Namun di sisi lain dari misi mulia itu, internet juga membawa sisi buruk. Dari penipuan, bisnis pornografi, kejahatan perbankan, hingga mewabahnya budaya mengintip, dan mengosip di ruang bebas hambatan itu. Jangan-jangan teknologi media baru ini telah memperbesar space untuk aktualisasi pontensi buruk dalam diri manusia. Tampaknya, ketidakhadiran subjek yang beridentitas autentik membuat beberapa pengguna internet "leluasa" untuk berperilaku. Persoalannya adalah sejauh mana perbuatan-perbuatan tersebut dapat ditoleransi, sementara kepentingan publik makin tidak terlindungi. Penyimpagan yang sudah mengakar, pada akhirnya akan menciptakan anomi. Nilai-nilai kebaikan dalam dunia nyata pun terkikis, oleh perilaku kontadiktif dalam dunia maya. Dan, yang paling dikhawatirkan adalah teknologi ini malah didistorsi menjadi alat bergosip ria semata, dan hal-hal trivial lainnya, sehingga lama-kelamaan menggusur spirit empowering and liberating-nya. Kebebasan menjadi kata kunci yang paradoks. Sama paradoksnya dengan internet itu sendiri. Dalam hal ini memang bukan teknologinya yang salah. Teknologi adalah mati dan tak berkehendak. Niat dan tujuan manusianya-lah yang menentukan bermanfaat-merugikannya teknologi tersebut. Kebebasan di satu sisi memberdayakan (empowering), di sisi lain memunculkan rasa was-was. Kebebasan hanya dapat menjadi modal pemberdayaan jika disertai dengan rasa tanggung jawab masing-masing individu. Prinsip nilai-nilai moral dan etika seharusnya dijadikan fondasi dalam menyikapi dan berselancar secara bebas di dunia teknologi baru, internet. Saya yakin sisi buruk ini tidaklah seberapa dibandingkan dengan sisi positifnya. Tetapi, baik-buruk tidaklah diukur dengan kuantitas. Bisa jadi, yang kita perlukan secara mendesak adalah new media literacy. Ada karakter-karakter baru dari internet yang tidak disadari oleh banyak pihak. Kita telah masuk ke media baru, tetapi cara bermedia kita masih mengikuti pola media konvensional. Perilaku mengakses media lama, tidak selalu bersentuhan dengan kepentingan orang lain, arus informasi bisa dikontrol, dan privat. Sementara internet, dengan berbagai wujud konvergensinya (antara media komunikasi dan media informasi) membuat kita hampir tidak bisa berselancar sendiri agar tidak mengganggu orang lain. Di tengah kesendirian ketika menjelajah, ada 1,8 milliar orang peselancar lain "di samping" kita. Jejak di media baru pun hampir tidak ada yang privat, atau rahasia. Lebih lagi, serbuan informasi, dan unintended pop-ups messages yang tak mudah untuk dihindari, bahkan acap kali ngotot agar dilirik. Di tengah paradoks itu, memang selalu ada tumpuan akhir tertib sosial, yaitu lembaga negara. Persoalannya, negara cenderung mendekati teknologi secara mengeneralisir hingga dapat mengancam hak politik warga negara: kebebasan berekspresi, berpendapat! Intervensi negara bisa jadi bertolak-belakang dengan spirit dibalik revolusi ala teknologi internet ini. Di sisi lain, kebebasan yang tidak "bertanggung jawab" secara khusus kurang baik juga untuk proses demokrasi deliberatif di ruang publik tak pandang "rambut" ini. Nah, sekarang siapa yang harus bertangung jawab? Pembuat teknologinya, pendidikan kita, keluarga, diri masing-masing?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline