Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Darurat Korupsi dan Oligarki Politik

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1338477416156773117

[caption id="attachment_184928" align="alignnone" width="600" caption="Sri Mulyani Indrawati: Jangan pernah berhenti mencintai Indonesia! "][/caption] Surat Terbuka untuk Sri Mulyani (2) Bu Sri Mulyani yang saya kagumi... Sejak kepergian Bu Sri Mulyani untuk mengabdi bagi dunia sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia, Indonesia telah kehilangan satu sosok yang secara konsisten, jujur, tegas, dan tanpa kompromi memerangi korupsi sembari melakukan reformasi birokrasi. Saat ini Indonesia sungguh-sungguh menghadapi masa-masa paling suram dalam sejarah pemberantasan korupsi. Pemerintahan SBY memang bertekad bulat untuk memberantas korupsi, dan memang ada banyak orang baik dan berintegritas di sekelilingnya saat ini. Pemerintahan ini sungguh-sungguh berusaha memerangi korupsi. Akan tetapi, kecepatan pemberantasan korupsi dibanding muncul atau terjadinya kasus-kasus korupsi baru ternyata sangatlah tidak sepadan. Untuk itu, izinkanlah saya sedikit mengabarkan betapa beratnya persoalan korupsi yang melanda Tanah Air tercinta saat ini. Pertama, korupsi sekarang sudah "terdesentralisasi" ke daerah-daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi atau pemberian keleluasaan daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Jika kita buka catatan KPK maupun dari LSM-LSM anti-korupsi, tampak jelas sekali ada ratusan kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Pemilihan kepala daerah secara langsung dan kewenangan yang meningkat ternyata juga ikut menyuburkan korupsi di daerah. Ditambah masih lemahnya aparat penegak hukum dalam mencegah dan menindak kasus-kasus korupsi, sekarang ini daerah menjadi lumbung-lumbung korupsi baru yang tiada bandingannya. KPK yang jumlah staf maupun penyidiknya tidak seberapa itu seperti berkubang dengan kasus-kasus korupsi yang begitu banyaknya. Dan, walaupun KPK sudah bekerja sangat-sangat keras, sepertinya korupsi tidak mau berhenti. Penghukuman terhadap pelaku korupsi sama sekali tidak menimbulkan efek jera. Justru kini muncul modus-modus korupsi yang semakin canggih dan rapi. Yang lebih menyedihkan lagi, korupsi di daerah tidak saja terjadi di pemerintahan daerah atau eksekutif, tetapi juga terjadi di banyak lembaga perwakilan daerah (DPRD). Dalam beberapa kasus, anggota-anggota dewan dan kepala daerah pilihan rakyat ini seperti berpesta-pora mengorupsi uang rakyat. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Sepertinya tidak ada satu pun sosok yang berani dan tegas sekaligus sanggup menginspirasi banyak orang baik dan berintegritas lainnya untuk bersama-sama melawan korupsi. Itulah sebabnya kami sangat membutuhkan Bu Sri Mulyani menjadi presiden pada 2014 nanti. Kedua, saat ini korupsi juga terus melanda DPR RI dalam bentuknya yang paling telanjang sekalipun. Meskipun KPK sudah berulang kali menangkapi dan memenjarakan mereka, tetapi korupsi tetap saja tumbuh subur di sana. Dan ketika korupsi itu mulai diendus oleh KPK, mulailah para koleganya berusaha menutup-nutupi atau saling menyelamatkan. Korupsi yang dilakukan para politisi di DPR ini sepertinya sudah menjadi korupsi sistemik yang sulit diberantas jika menggunakan cara-cara yang lama. Pertanyaannya, kalau KPK saja dilawan oleh DPR, lembaga mana lagi yang tidak akan mereka lawan? Padahal kita semua tahu, DPR adalah lembaga yang—berkat reformasi politik yang diperjuangkan seluruh rakyat Indonesia—kini memiliki kekuasaan sangat besar dan nyaris tanpa kontrol dari pihak mana pun. Bagaimana korupsi bisa diberantas di sana jika semua yang terlibat saling dagang sapi untuk saling melindungi? Tak kurang Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD terang-terangan berani menuding ada jual beli pasal di DPR sana. Belakangan ada lagi kasus Badang Anggaran DPR yang melibatkan bukan saja pribadi-pribadi anggota Dewan, tetapi sudah mencirikan sebagai sebuah korupsi kelembagaan. Yang lain, publik di Indonesia juga diberi tontonan kasat mata bagaimana sekelompok anggota Dewan dimanfaatkan oleh satu kelompok kepentingan bisnis untuk menjegal upaya pemerintah dalam membeli saham PT Newmon Nusa Tenggara. Sungguh sangat menyedihkan bagaimana DPR yang mestinya membela kepentingan rakyat malah nyata-nyata membela kepentingan kelompok bisnis yang mengidupi partainya. Sudah begitu, para anggota Dewan dan kelompok-kelompok kepentingan ini dengan fasihnya menyebutkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi rakyat, dan di sisi lain menganggap pemerintahlah yang melanggar ketentuan UU. Ini sungguh situasi politik yang amat sangat memalukan di era reformasi sekarang. Namun anehnya, kenapa media-media mainstream di Indonesia seolah tutup mata terhadap kejadian ini? Bagaimana pers yang dibesarkan dan diluaskan kebebasannya oleh reformasi justru seperti mati kutu menghadapi oligarki politik? Jika kelompok bisnis ini kembali menguasai pemerintahan pada 2014 nanti, apa yang akan terjadi dengan kekayaan alam negeri kita? Sungguh, sepeninggal Bu Sri Mulyani seolah-olah semakin jarang saja orang yang berani melawan oligarki politik di Indonesia. Ketiga, yang tidak kalah mengkhawatirkan, akhir-akhir ini semakin nyatalah di Indonesia ini sedang terjadi korupsi etika secara masif di media massa. Sedikit berbeda dengan korupsi-korupsi biasa, korupsi di media publik ini berlangsung secara halus, tetapi diam-diam sejatinya merusak sendi-sendi demokrasi. Media massa sekarang ini semakin gagal melepaskan diri dari conflict of interest pemiliknya dan cenderung menjadi partisan. Mereka bukan lagi membela kepentingan masyarakat dengan mengabarkan fakta yang benar, namun sudah ikut serta dalam merekayasa pemberitaan dengan tujuan memengaruhi dan menggiring opini masyarakat. Mereka berani menyerang siapa saja, khususnya pemerintah dan lawan politik, dengan berbagai gaya pemberitaan yang sangat tendensius. Mereka bisa menjadikan penjahat dan koruptor seperti orang yang tidak bersalah dan bahkan patut dibela. Sebaliknya, media-media cetak, televisi, dan situs online ini juga bisa menjadikan orang yang benar dan berintegritas menjadi layaknya seorang koruptor yang harus dipenjarakan. Bu Sri Mulyani sudah pernah mengalami sendiri bagaimana 'konspirasi' media berhasil menjadikan Anda sebagai orang yang dipersepsi masyarakat sebagai yang paling bersalah atas kasus Bank Century. Di tangan media-media seperti ini, masyarakat tidak akan mendapatkan kebenaran yang utuh. Masyarakat digiring untuk menelan mentah- tetapi kebenaran semu hasil olahan agenda setting media tersebut. Semua itu dilakukan demi melindungi kepentingan pemilik modal atau kelompok dan kekuatan politik tertentu. Pilar demokrasi yang satu ini sekarang sedang membusukkan demokrasi kita dengan mengorupsi etika pemberitaan. Sebagian dari insan pers kita sudah menghamba pada kepentingan pemodal sehingga media mereka tidak layak lagi dianggap sebagai pilar demokrasi. Uang bisa mengalahkan kebenaran dan idealisme pemberitaan. Jika korupsi etika ini dibiarkan terus berlanjut, kita akan terus defisit kebenaran dalam kehidupan berpolitik, berbangsa, dan bernegara. Ini sungguh sangat menyedihkan dan pemerintah kita yang lemah dan masyarakat yang hanya menjadi penonton seperti tidak berdaya menghadapinya. Keempat, masyarakat kita memang sering mendapati berita-berita tentang pemberantasan korupsi. Namun, sehari-hari yang mereka temukan adalah perilaku korup di hampir semua bidang. Mulai dari mengurus KTP sudah dipalakin, sopir menjalankan kendaraan dengan benar pun bisa distop kapan saja oleh petugas dimintai uang, pengusaha selalu harus mengeluarkan uang pelicin untuk dokumen-dokumen perizian, usaha kecil dimintai uang keamanan, para pimpinan proyek di BUMN ditarget memberikan pemasukan sekian puluh miliar oleh atasan, dan masih banyak lagi perilaku korupsi lainnya. Warga masyarakat sepertinya menganggap korupsi itu sudah merupakan hal yang biasa saja. Di kantor-kantor pelayanan publik sebagai ladang basah korupsi pun ada yang namanya korupsi berjamaah dan ada juga solidaritas di antara sesama atasan-bawahan dalam menikmati uang korupsi. Selain itu, yang sangat-sangat ironis adalah munculnya anggapan di masyarakat; korupsi itu sudah biasa, wajar, dan toh hampir semua orang melakukannya. Malahan muncul juga anggapan, kalau tidak ikut korupsi malah rugi karena tidak kebagian. Tak jarang pula kita dengar ada pejabat-pejabat yang siap menerima risiko hukuman penjara dan nekat korupsi karena sudah ada yang menjanjikan menyelamatkan mereka. Begitulah Bu Sri Mulyani betapa SOS-nya soal korupsi di Indonesia saat ini. Masyarakat sudah sangat lelah dengan korupsi yang terjadi di mana-mana, tetapi mereka sungguh tidak berdaya. Sebab, ada pihak-pihak yang seharusnya melindungi mereka dari perilaku jahat itu justru banyak yang terkontaminasi, terlibat, bahkan bersatu-padu menjadi pihak yang membela koruptor. Tidak mengherankan kalau masyarakat mulai tidak sabar dengan proses reformasi yang berlangsung saat ini. Mereka menuntut hasil yang cepat, mereka ingin Indonesia bersih dari korupsi, namun ternyata masalah korupsi sudah begitu kronisnya. Masyarakat kita berharap besar kepada pemerintahan saat ini, namun mereka mulai melihat pemerintah sendiri seperti tersandera oleh oligarki politik. Sikap kehati-hatian yang terlalu berlebihan akhirnya dibaca masyarakat sebagai sikap yang lemah dan tak berdaya. Akibatnya, kini sejumlah petualang politik di Tanah Air mulai memanfaatkan situasi karena melihat ketidakpuasan dan ketidaksabaran masyarakat itu. Mereka menghembuskan desas-desus atau mulai meneriakkan ide-ide tentang revolusi. Bu Sri Mulyani, ide revolusi para petualang politik itu bisa menjadi blunder bagi bangsa ini. Bangunan demokrasi yang sudah ditegakkan dan dibayar dengan amat sangat mahal oleh bangsa ini sejak 1998 berpotensi untuk kembali lagi ke titik nol. Kita yakin bukan itu yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini. Indonesia tetap harus berjalan di atas rel demokrasi konstitusional yang mengedapankan proses kelembagaan dalam menangani setiap perbedaan pandangan ataupun konflik politik. Dan supaya proses konsolidasi dan pelembagaan politik itu tetap berlangsung dengan kokoh, kita semua membutuhkan kepemimpinan nasional yang kuat, kokoh, tegas, dan tentu saja berintegritas. Kita membutuhkan pendekar pemberatas korupsi yang sesungguhnya yang berani bebas dari belenggu oligarki politik saat ini. Dan, kualitas itu hanya kami lihat pada diri Anda, Bu Sri Mulyani Indrawati. Jakarta, 28 Oktober 2011 Salam hormat, Topan Jaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline