Di masa susah mendapat akses bacaan seru, informasi pun terbatas, namun gelora membaca tetap bergejolak, beruntung meski berada di kampung kecil yang saat itu belum teraliri listrik, ada saja orang orang baik yang mau meminjamkan koleksi buku, majalah dan bacaan lainnya, beliau adalah "Ua Guru" kakak dari Bapak penulis yang merupakan pejabat di tingkat kecamatan di Dinas Pendidikan.
Tapi koleksi bacaan beliau adalah majalah Tempo, Intisari serta setumpuk buku setebal bantal, namun ya karena penasaran, di baca saja koleksi buku Ua Guru. Namun ada satu koleksi buku yang berkesan hingga saat ini, sebuah buku terbitan Balai Pustaka sekitar tahun 70an, buku ini membuat penulis kesengsem, ceritanya seputar kasus penculikan anak, judul bukunya adalah Menggulung Komplotan Penculik yang ditulis oleh Dwianto Setyawan, pengarang cerita cerita detektif jempolan era 70 an dan 80an.
Cerita berawal dari berkumpulnya empat sahabat yakni Iwan si tuan rumah, Robin bocah gendut yang merupakan anak blasteran pengusaha farmasi dan ibunya keturunan Jerman. Ada Mardoko yang merupakan anak seorang petugas pos dengan keluarga besar, serta seorang yang mempunyai nama mirip seorang perempuan, Sutitik yang anak seorang penjahit.
Keempat sahabat mengisi waktu malam minggu dengan santai setelah menyantap nasi goreng bikinan Bik Mar, asisten rumah tangga keluarga Iwan. Mereka asyik main kartu empat satuan, menjelang tengah malam ada suara gedoran yang mengejutkan mereka dan menjadi awal cerita yang seru.
Dwianto Setyawan mampu menaruh teka teki tentang siapa yang menjadi dalang dari penculikan yang melibatkan Iwan dan Robin, mengapa penculik tidak mengincar Sutitik dan Mardoko. Jalinan cerita yang runut menjadi simpul kuat alur detektif di buku ini, meski di baca berulang ulang namun nggak pernah bosan.
Mardoko dan Sutitik ikut dalam pencarian Iwan dan Robin, mereka berteman dengan seorang inspektur polisi, kalau tidak salah namanya Pak Herman, Sutitik dan Mardoko berpura pura menjadi tukang es disekitaran tempat diculiknya teman mereka.
Ketegangan demi ketegangan terjadi untuk menggulung komplotan penculik, Iwan dan Robin merasakan bagaimana susahnya makan dan mandi di tempat para penculik, belum lagi galaknya para penculik yang memperlakukan dua anak yang biasa hidup mewah.
Sedikit demi sedikit ada titik cerah untuk membebaskan Iwan dan Robin, berkat upaya pak inspektur polisi, bisa ketahuan siapa dalang dari penculikan tersebut, semakin mendekati akhir cerita, Mardoko dan Sutitik mampu melepaskan kedua temannya.
Si penculik meminta tembusan sebesar 12 juta, angka yang fantastis di sekitaran tahun 70an, namun berkat kegigihan Mardoko dan Sutitik serta peran penting pak Inspektur polisi, Iwan dan Robin dapat dibebaskan sore hari, dan si komplotan penculik memang mengincar Iwan serta Robin yang merupakan anak orang kaya.
Inilah buku favorit penulis yang inger terus alur ceritanya, masa kanak kanak penulis ternyata sudah dihadapkan dengan situasi alur detektif yang bikin penasaran, hihi. Beruntung meski berada di kampung yang berada di kaki gunung Ciremai, penulis nggak kekurangan bahan bacaan.
Bapak malah sempat memberikan kejutan spesial yakni berlangganan majalah anak anak Tom tom, sesekali dapat juga majalah Bobo dan juga Ananda yang saat itu memang sangat moncer sebagai majalah kesayangan bagi anak anak.