[caption caption="Ujang dan dagangannya (dokpri)"][/caption]Beberapa hari yang lalu ketika menuju tempat kerja, berpapasan dengan seorang bocah yang memikul dagangan. Terseok ia berjalan, yang dibawanya adalah beberapa cobek dan juga ulekan yang terbuat dari batu.
Penulis pun menghentikan langkah dan bertanya berapa harga dagangannya. Wajah penjual cobek terlihat masih kanak kanak, seharusnya bocah sebesar itu masih bersekolah namun keadaan seakan memaksa ia harus berjibaku untuk bertahan hidup. Penasaran penulis pun bertanya beberapa hal kepada bocah yang bernama Ujang itu.
Usianya baru 16 tahun, usia seharusnya ia bersekolah, selain bertanya tentang barang dagangan, penulis mengajak kawan muda yang tangguh ini mengobrol.
Garis nasib membawa Ujang terdampar ke kota Cikarang, menurut pengakuannya ia berasal dari Padalarang. Tinggal di Cikarang secara berkelompok sesama pedagang batu cobek.
Menurut Ujang ia hanya menjajakan dagangan secara berkeliling dan jalan kaki, barang dagangan sudah ada yang memasok, ulekan dibanderol seharga 15 ribu rupiah untuk yang terbuat dari batu asli. Sedangkan harga yang lebih murah bisa di dapat yaitu 10 ribu karena terbuat dari batu kapur.
Untuk cobek kecil dari batu asli di lepas dengan harga 20 ribu. Menurut Ujang ia hanya menerima untung dari selisih harga pokok dari pemasok barang dagangannya, keuntungan yang tak seberapa itu harus di potong untuk makan dan biaya sewa petak yang dibayar patungan agar lebih menghemat.
Di usianya yang belia Ujang harus bekerja keras menafkahi keluarganya dengan berjualan cobek. Di satu sisi banyak abege sebaya Ujang menikmati indahnya masa sekolah, menikmati serunya media sosial dengan memainkan gadget pemberian orang tuanya.
Masih banyak Ujang Ujang lain di negeri ini yang mengalami putus sekolah dan bekerja apa saja untuk sekadar bisa makan. Akhirnya penulis mengakhiri obrolan sembari membeli sebuah ulekan yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.
Biarlah mungkin ini rezekinya si Ujang. Lalu ia pun beranjak dan memikul dagangannya menuju daerah Lippo yang mempunyai jarak tempuh sekitar 10 kilometer.
Hati-hati Ujang semoga daganganmu habis, dan Ujang pun berjalan dengan beban pikulan yang lumayan berat, langkahnya terseok namun dari matanya penulis melihat ketegaran yang begitu nyata.
Seketika teringat akan lagu lawas dari Koes Plus berjudul Kolam Susu. Oh Indonesiaku ternyata masih banyak orang yang tidak beruntung di tanah yang katanya subur makmur.