Lihat ke Halaman Asli

Koruptor Pun, Mohon Maaf Lahir Bathin

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jelang lebaran. Si Topeng kedatangan seorang teman. Bukan sembarang teman. Ia, seorang politisi yang kini menduduki salah satu posisi jabatan penting di negeri ini.

Dengan gayanya yang sangat akrab, sang teman banyak bicara. Mulai dari soal kasus Nazarudin, isu reshufle di bulan September, hingga peta politik jelang Pemilu 2014 nanti. Pokoknya, apa yang ia ucapkan, tampak begitu sangat meyakinkan.

“Berpolitik itu, ya memperebutkan kekuasaan, Peng. Jangan pernah ikut berpolitik, kalau tidak ada niat untuk berkuasa....”

Tentu saja, si Topeng lebih banyak mendengarkan kata-katanya. Hanya sesekali, ia berusaha ikut menimpali dengan satu atau dua pertanyaan.

“Caranya?” sela si Topeng.

“Miliki uang, maka kekuasaan akan bisa dipegang!”

Si Topeng terlihat mengerutkan keningnya. Tampaknya sangat serius. Rasa penasaran kian memenuhi isi pikirannya.

“Ck..ck..ck.. Dari mana uangnya?”

“Gampang, Peng. Manfaatkan kekuasaan untuk dapatkan uang, agar bisa berkuasa lagi!”

“Gila! Korupsi semua...”

“Kamu yang gila, Peng! Hampir semua politisi, ya begitu!”

“Termasuk kamu, teman?”

“Hahahahahahahahaha..... ya, iya lah! Mana mungkin aku bisa pegang jabatan, jika tanpa ikuti aturan kekuasaan! Memang seperti itu rumusnya, Peng! Hahahahahahahahahaha....”

Si Topeng masih setia untuk mendengarkan penjelasannya. Diam-diam, ia merasa telah memperoleh pengetahuan baru tentang dunia politik kekuasaan yang riil, langsung dari pelaku utamanya. Menurutnya, pengetahuan itu sungguh sangat berguna.

“Maaf, teman. Kamu masih ikut berpuasa, kan?”

“Ya iyalah, Peng! Masa, seorang muslim tidak berpuasa? Apa kata dunia? Hahahahahahahaha....”

Kali ini, si Topeng ikut tertawa juga. “Hahahahahahahahahahahahahahahahahaha.....”

Hingga sang teman kembali menyela.

“Peng, sebelum aku mau pamit, saya sampaikan minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir bathin...”

“Permohonan maafnya saya terima...”

“Ya, harus diterima, Peng...”

“Kalau saya, ya diterima.... Entahlah, kalau Tuhan...”

“Kalau Tuhan, biar urusan pribadi saya, Peng. Nih, ada rizki buatmu...” ucap sang teman sambil menyodorkan beberapa lembaran uang ratusan ribu rupiah.

Lembaran uang itu telah beralih ke tengan kanan Si Topeng. Sang teman tampak mengamati sambil tersenyum-senyum bangga. Sementara si Topeng terlihat masih terbengong dengan tatapan mata yang kosong.

“Ambillah, Peng. Buat lebaran”

“Tidak,.... tidak, kawan” ucap si Topeng terbata.

Sang kawan agak terperanjat. Tangan Si Topeng hendak mengembalikan uang ke tangannya.

“Apa, Peng? Kamu tidak mau menerimanya?!”

“Iya. Maaf ya, kawan. Saya tidak bersedia menerimanya..”

“Mengapa? Karena dianggap uang hasil korupsi, ya?”

“Hmm..” Si Topeng hanya terdiam.

“Hahahahahahahahahahahaha.... Peng, Peng..... bodohmu masih terus dipelihara. Sudah pasti kamu butuh uang untuk lebaran, eh uang ini ditolak juga... Hahahahahahahahahaha...”

Si Topeng masih terus terdiam. Ia hanya menatap sang teman yang masih terus tertawa. Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahaaha.....

Sang teman masih saja terus tertawa. Ya, ia masih terus tertawa. Hingga, suara ketukan pintu kamar kos terdengar. Tok.Tok.Tok. Suara tawa itu tiba-tiba menghilang dengan sendirinya.

Tanpa jeda lagi, suara yang lain terus mengikuti.

“Sahur.. Sahur... Peng.. Peng... Bangun... Sahur... Sahur....”

Si Topeng pun baru tersadar dari mimpi.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline