Lihat ke Halaman Asli

Jemuran Melambai

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Melambai-lambai dijilati angin. Melenting dan rapuh

disepuh matahari hingga april. Riwayat jemuran datukdatuk

mencari pengikut. Teror lindap di celah-celah rumput. Corong

teropong saling beradu meraba kosong. Menyorot aroma

mulutmu. Penyamun ganti baju, berharap tuah nomor

punggung keramat.

Melambai berjinak-jinak dengan angin. Berharap habis gelap

terbitlah terang. Jika april ditakdirkan kemarau berangin

jemuran kering. Kenduri berjalan sesuai rencana. Terpilih

datukdatuk yang disumpah malaikat. Yang kecundang meratapi

jemuran, tertawa sendiri diam menyepi. Jika cukup cerdas

ia dapat merangkai puisi patah hati.

Melambai bergelantungan warna-warni. Takdir jemuran

berakhir menjadi tumpukan kain perca. Itulah yang terjadi

sejak sayang di sayang tahun 1955. Datukdatuk datang pergi

terlempar dari kursi berhias demokrasi. Lihatlah, rumput kering

jemuran menjadi perca. Atas nama UUD 1945, kau dan aku

adakah disana?

***

Topan Wahyudi Asri,

Sijangkung – Kalimantan Barat.

(230314)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline