Lihat ke Halaman Asli

Topan Bagaskara

Pemikir. Penyair. Pendaki Gunung.

Vox Populi: Borgianisme, Jokowi dan Pemakzulan

Diperbarui: 24 Maret 2024   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar edit canva

KPU telah melahirkan Presiden-Wakil Presiden teranyar bagi Indonesia, bagi saya ini sudah selesai. Prabowo-Gibran diresmikan berjalan lenggang di atas karpet merah. Kendatipun, dalam prosesnya harus memaksa menghilangkan etika dari kehidupan politik dan praktik politik yang bersifat borgianisme, yakni politik sebagai alat untuk melakukan segala sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan, norma yang berlaku, seakan bernuansa positivistik (bebas nilai).

Sebuah pemerintah yang dikelola seorang borgianisme tidaklah mendapati legitimasi publik yang berdasarkan moral dan keadilan. Ia akan membentuk kepuasaan tersendiri dengan praktik simoni maupun politik gentong babi, hanya untuk menciptakan elektabilitas semata. Karena sifat dasar seorang borgianisme adalah manipulatif, ambisius dan menipu.

Kita bayangkan, mulanya orang-orang seperti ini biasanya gemar menebar citra; barlagu lugu; paham-paham sosial-kerakyatan diseludupkan setiap pola gerak. Sebelum pada waktunya kekuasaan dijadikan alat pemaksiatan dan penindasan. Saya berpikir keadaan seperti ini telah dilakoni oleh rezim Jokowi, Jokowi yang pada masa senja jabatannya memperlihatkan sistem nepotisme dan berupaya mengabadikan kekuasaannya. Meskipun, akhir-akhir ini saya merasakan kegelisahan yang terjadi pada Jokowi.

Saya beranggapan, Jokowi sedang limbung mencari jalan untuk lari dari kejaran tuntutan moral. Dosa besar yang dibuat oleh Jokowi adalah motif ia mencari suaka pada Golkar. Apalagi saya mendengar sebanyak 62,2 persen publik teriak mendukung hak angket. Hak yang akan menjadi surat perintah untuk memakzulkan Jokowi. Selain hak angket ada cara lain untuk melengserkan Jokowi dari kursi kekuasaan, yaitu gerakan massa serentak yang kita sebut revolusi.

Jokowi layak dimakzulkan, setidaknya untuk menebus dosa-dosa demokrasi yang tercatat oleh sejarah. Akan tetapi, saya rasa dimakzulkan saja belum cukup, sebab kaki-kaki gurita Jokowi telah disebar pada setiap objek kekuasaan. Dan ini perlu diperhatikan secara serius. Meski begitu, satu hal yang pasti adalah bahwa perubahan politik harus terjadi di 2024 karena sangat menyedihkan bila negeri yang penuh oportunitas ini dikendalikan justru oleh para oportunis.
---------
Dan yang pasti, pemimpin bangsa bukan tipe manajer perusahaan yang dikendalikan seorang investor yang menghitung politik dalam rumus efisiensi untung-rugi. Ia juga bukan bermental spekulan saham yang mengejar marjin profit pada sebuah situasi ekonomi kritis, untuk kemudian hengkang mencari pasar jangka pendek lain. Pemimpin juga bukan pengecer ayat-ayat suci yang menjanjikan surga eksklusif sambil menebar kebencian pada sesama manusia. Pemimpin adalah pemberi arah hidup sebuah bangsa. Ia menanam nilai untuk dituai orang lain dalam jangka panjang. Pemimpin tidak berkelahi demi dendam politik, melainkan guru yang sabar mengajarkan keadilan dan kemerdekaan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline