Lihat ke Halaman Asli

Keterpaduan Kopi, Anak-anak dan Buku adalah Keniscayaan

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14317905971951506664

Sarapan herbal berupa secangkir kopi dan rokok bukan sekedar ritual tanpa makna. Bukan sekedar kebiasaan yang nampak sebagai pelengkap saja. Lebih dari itu, kopi membuat saya lebih hidup dan merasa harus membuat gebrakan dalam kehidupan saya. Kebermanfaatan saya bagi orang banyak sehingga saya puas dan berkata: #INIBARUHIDUP!!!

[caption id="attachment_417934" align="aligncenter" width="300" caption="Dok Pribadi - Termos air panas dan bubuk kopi selalu setia menemani"][/caption]

Kebiasaan saya menyeduh bubuk hitam dengan air mendidih di tambah sedikit gula itu memang sudah seperti mendarah daging. Semenjak kelas dua SMA saya sudah terbiasa melakukannya. Ritual kopi pagi menjadi rutinitas yang tak bisa di pisahkan dari kehidupan keseharian saya. Tanpa perlu ada ba-bi-bu, secangkir kopi hitam pekat sedikit manis siap di sruput sembari dinikmati aroma wanginya.

Seiring perjalanan langkah hidup yang tak menentu, kopi semakin tak bisa di hilangkan dalam keseharian. Bukan hanya sekedar pagi, tapi kapan pun saya mau saya bisa menyeruput kopi. Tak peduli seusai makan, atau bahkan akan pergi tudur. Ketika saya mau, saya harus ngopi. Tanpa pernah berpikir cerita bagaimana proses kopi menjadi minuman nikmat teman bercengkrama, dan apa jenis kopinya. Apalagi sampai mencari tahu siapa penanam kopi yang selalu ada untuk saya, dimana kopi ditanam, dan bagaimana perjalanan hingga siap untuk saya tenggak. Nampak terlalu jauh untuk berpikir kearah itu. Dan saya merasa bahwa it’s not my business!

Bertahun-tahun saya menikmati kopi hanya sebagai air berwarna hitam dalam ritual harian. Hingga pada ulang tahun saya beberapa waktu lalu, Sang Ratu Lebah mengirimkan dua bungkus kopi murni dari Yogyakarta. Kopi jenis Arabika dari Mandaeling dan Toraja. Peristiwa itulah yang menjadi titik balik bagi saya, mengukir pemahaman baru sekaligus menghadirkan keingintahuan yang mendalam tentang kopi.

[caption id="attachment_417937" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi - Coffee date"]

14317911491541391381

[/caption]

Jenis pertama yang saya coba adalah kopi Toraja. Yang saya tahu, Toraja adalah nama paten untuk sebuah perusahaan kopi di Jepang. Saya tahu ada kopi Toraja, tapi saya membayangkan rasanya, yaa... mungkin sama dengan kopi sehari-hari yang saya beli di pasar dan warung. Saya menyeduhnya dengan cara konvensional dengan hanya ditubruk saja. Aroma yang tercipta sungguh membangkitkan gairah saya. Seakan saya langsung dibawa berkelana ke tempat asal kopi itu berada. Tana Toraja, yang di peta pun saya tidak yakin itu ada di sebelah mana. Tapi dengan hanya melalui perantara secangkir kopi, seakan perjalan itu telah tertempuh.

Rasa penasaran pun datang dengan mengebu-gebu. Setelah usai secangkir kopi Toraja, langsung saya seduh kopi kedua dari daerah yang berbeda. Mandaeling!!! Wilayah mana lagi ini? Aroma berbeda yang menyeruak dari kepulan asap ketika bubuk-bubuk kopi itu tersiram air panas seketika membuat saya terdiam.

Sejak itulah, perjalanan menyelami keunikan dunia kopi pun dimulai. Secangkir rasa dan sejuta aroma yang tak terbendung. Hingga rasa ingin tahu tentang kopi kian menjadi. Internet menjadi salah satu media untuk mengetahui apa itu kopi. Bagaimana sifat biji yang dihasilkan dari pohon yang dipetik melalui pemilihan tingkat kematangan yang sempurna agar menciptakan rasa dan aroma yang luar biasa? Bagaimana kopi bisa menjadi sumber kehidupan dan penghidupan bagi banyak orang? Hingga bagaimana meracik biji-biji kopi menjadi minuman yang bukan hanya berwarna hitam tetapi memiliki keunikan rasa dan aroma serta seribu cerita dibalik semuanya.

Saya semaki yakin, bahwa untuk menemukan eksotismenya, tak seharusnya kopi sekedar diaduk. Dengan cara penyajian yang berbeda, mampu tercipta sensasi rasa dan aroma yang bebeda pula. Saya tidak habis pikir, bagaimana bisa satu jenis kopi yang sama akan menghasilkan aroma dan rasa yang berbeda ketika kita sajikan dengan cara yang berbeda? Mungkin saya perlu belajar biokimia kopi, tapi cepat-cepat saya tepis. Saya menyerah sebelum mencari tahu senyawa-senyawa apa yang bereaksi dengan panas dan udara pada waktu dan kondisi tertentu sebelum secangkir kopi siap untuk disesap. Saya percaya bahwa cinta pasti menemukan jalannya. Curiousity yang muncul akibat berbagai aroma yang tak pernah terpikir ketika kita menghirup kepulan asap dari secangkir kopi yang tersaji.

Saya pun menghinggapi beberapa kedai kopi untuk mencari rasa dan aroma dari setiap kopi yang disajikan. Saya mendengar baik-baik tuturan cerita mengenai kopi dari para barista lebih serius daripadamenyimak dosen di depan kelas. Perjalanan dari kedai ke kedai menjadi hal rutin yang saya lakukan. Keingintahuan tentang kopi telah membawa banyak cerita baru, membangun persahabatan, memupuk keakraban yang tecipta dari keajaiban secangkir kopi.

Bersahabat dengan secangkir kopi tidak hanya dengan menikmati rasa dan aroma kopi saja. Bersahabat lebih dari sekedar penikmat. Kepedulian yang membedakan. Dengan mengikuti perjalanan panjang kopi itu sendiri, saya dengan percaya diri mengikrarkan diri sebagai ‘sahabat kopi’. Bermula dari penanaman dengan kondisi tanah, kontur lahan, tanaman tumangsari hingga teknik panensampai kopi itu siap saya nikmati.Dengan demikian rasa yang tercipta dari secangkir kopi itu akan lebih istimewa. Seperti kata Mas pepeng, seorang penggiat kopi yang saya temui di Yogyakarta, “kopi tanpa narasi, hanyalah air berwarna hitam.” Sialnya, statement itu benar adanya.

Kopi tanpa ada cerita perjuangan para petani, kondisi ekonominya, hingga statusnya di percaturan kopi dunia hanya kenikmatan yang mampir di tenggorokan saja. Saya sebagai pecandu kopi yang bisa menghabiskan 3-4 gelas kopi sehari pada akhirnya bisa menikmati kopi bukan hanya sebagai ritual hari tanpa makna, tetapi menikmati kopi dengan rangkaian cerita dan perjalanan panjangnya itu sendiri hingga sampai ke perut saya.

[caption id="attachment_417938" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi - Sejak green bean pun mereka sudah berbeda"]

14317912941953402548

[/caption]

Saat ini memang saya baru mengenal proses dari kopi mentah (red chery) sampai fase roasted beans hingga brewing. Tapi kelak, saya ingin benar-benar mendedikasikan diri bagi dunia kopi. Dunia yang dianggap penuh harta karun oleh para pebisnisnya. Sumber penghidupan demi mencapai masa depan gemilang para petaninya.

Saya mulai penelusuran saya dari proses roasting. Bagaimana bedanya light roast hingga dark roast? Bagaimana cara menciptakan profil kopi yang saya mau dengan alat seduh berbeda-beda? Lalu kenapa filter kopi, presso, shypon, dan sebagainya itu harus ada? Kenapa menikmati kopi tidak cukup dengan disiram air panas saja? Bagaimana perbandingan kopi, air, dan suhu serta waktu reaksi yang tepat untuk menghasilkan kopi enak? Ribuan tanya bergelayut dalam benak saya layaknya bintang di langit malam. Kelak saya berharap akan adanya matahari yang membuat pertanyaan-pertanyaan itu menghilang. Meski saya sadar, akan ada malam-malam lain yang menaburkan bintang-bintang yang lebih banyak lagi dari ini. itu artinya, kapasitas saya terus berkembang.

Saya menyadari bahwa dari petanilah awal sejarah kopi enak dimulai. Harapan saya, tak hanya kopi dan kedai-kedai metropolis saja yang terkenal. Tapi lebih kepada semangat para petani yang harus diketahui dan dicontoh oleh para penikmat kopinya. Dengan demikian, jarak ekonomis yang jauh membentang antara petani hingga penikmat kopi tidak lagi tanpa makna. Saya ingin para penikmat itu menemukan ‘kedekatan jiwa’ dengan para petani. Penghargaan dan sikap peduli terhadap nasib para petani bukan hal tabu untuk dimengerti.

Berbicara tentang kehidupan petani kopi di lereng-lereng bukit yang gigil terkadang mampu membuncahkan aneka rasa. Nano nano! Bahagia dan bangga karena mereka mampu melahirkan kopi yang luar biasa. Merawat tanaman-tanaman kopi dengan penuh cinta kasih. Demi kopi mereka berjodoh dengan penikmatnya. Rumah-rumah papan yang mengantarkan angin dingin melalui celah-celahnya mungkin sangat biasa bagi mereka. Yang paling menyedihkan adalah bahwa masih banyak petani kopi yang tak pernah sanggup mencicipi kopi mereka sendiri! Terputusnya rantai produksi setelah dihasilkan green beans di tingkat petani, pengetahuan mereka tentang bagaimana mengolah kopi juga menjadi penyebabnya. Akibatnya, biji-biji kopi kering itu dijual begitu saja. Dan mereka tinggal membeli kopi bubuk di warung pun dengan kualitas kopi bubuk campuran.

Ada yang pernah tahu tentang kopi kawa? Itu, minuman dari daun kopi yang diseduh dan disajikan di kedai-kedai di tanah Minang. Meski produksi kopi di sana melimpah, masyarakatnya justru terpaksa memilih untuk mengonsumsi daunnya. Ironi petani kopi!!! Meski hingga kini pun mereka masih menggemari minuman tersebut, tapi bolehlah kita tengok sejarahnya. Bahwa masyarakat Minang didoktirn demikian oleh para penjajah yang justru membawa kopi dari para petani itu ke negaranya.

[caption id="attachment_417936" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi - Di salah satu kedai kopi"]

14317909531676325071

[/caption]

Saya memang bercita-cita untuk membuka usaha di bidang kopi. Semacam kedai kopi yang kian menjamur di negeri latah ini. Saya akui saya banyak belajar dari mereka. Dari kedai-kedai metropolis yang menyediakan kopi beraneka ragam. Dari kedai-kedai sosialis hingga yang menawarkan harga fantastis. Konsumennya biasanya memanfaatkan ruang dan fasilitas di kedai itu untuk sekedar menyelesaikan pekerjaan yang tertunda, untuk rapat-rapat dan memulai jalur bisnis, hingga obrolan politik pun terjadi di warung kopi. Dominasi orang-orang serius dengan laptop dan rokok mereka, ditemani musik pengiring yang saya pikir malah membuyarkan suasana. Ya, saya percaya bahwa minum kopi tak harus berteman dengan asap rokok. Seperti halnya saya, yang berikrar untuk berhenti sama sekali untuk merokok. Saya yang tetap minum kopi tanpa kepulan asap. Lagi pula, kenikmatan kopi tak hanya untuk orang dewasa.

Saya justru ingin turut memfasilitasi kepentingan anak-anak di sana. Di kedai kopi saya. Suatu hari berpeluh bersama anak-anak yang riang dengan berbagai keingintahuannya. Menyediakan buku-buku bagi para pengunjung kedai saya kelak di kota. Mengantarkan mereka untuk membagikan buku kepada anak-anak petani lalu mereka akan belajar bersama dengan ceria. Melatih kepekaan sosial sambil bermain sekaligus belajar.  Mengedukasi anak sejak dini, bisa dilakukan di mana saja, bukan? Dan saya ingin memperkenalkan bahwa tak seharusnya angka ekonomis, batas teritorial, hingga logat bicara membentangkan jarak antara petani kopi dan penikmatnya. Semoga segera terlaksana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline