Lihat ke Halaman Asli

[Serial] Kebijaksanaan Yang Terpasung III: Aroma Kencing Penguasa

Diperbarui: 18 Februari 2016   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BAB:III

Aroma Kencing Penguasa

 

Sore, Senja, orang jawa pantura, khususnya Brebesan, menyebutnya Sendakala (senjakala). Senjakala adalah waktu menjelang terbenamnya matahari. Pada waktu inilah hukum Orailok (pamali) berlaku. Walaupun dalam khasanah budaya jawa hukum orailok bukan hanya berlaku saat senjakala saja. Ada saat-saat yang lebih khusus hukum ini berlalu diluar waktu senjakala. Saat senjakala bagi anak-anak kecil dilarang bermain diluar rumah. Bukan hanya anak-anak kecil, segala binatang ternak seperti kambing, ayam dan lainnya harus sudah masuk kandangnya masing-masing. Orailok (pamali) adalah hukum turun temurun sejak jaman leluhur (nenek moyang) yang sangat dipatuhi oleh kalangan orang tua jaman dulu. Seorang ibu akan rela menyusuri senjakala saat anaknya yang masih senang bermain belum kembali kerumah. Ya senjakala adalah hukum klasik yang sangat dipatuhi karena kesakralanya. Apakah gerangan yang melatar belakangi kesakralan senjakala itu? Dengan segala keterbatasan penulis akan mencoba membuka rahasia dibalik senjakala.

 

Beberapa tahun yang lalu penulis pernah mencoba bertanya tentang topik ini kepada orang yang sangat dituakan didusun tempat penulis tinggal. Pakar perhitungan yang merujuk pada kitab primbon, juga seorang spiritual kejawen yang sangat dihormati, jika didramatisir sedikit beliau orang yang sakti mandraguna. Panggil saja Ki Warta

 

Beliau menjawab, memaparkan, mengapa waktu senjakala sangat disakralkan oleh orang-orang jawa. Kata beliau, karena pada saat senjakala adalah waktu dimana Sang Hyang bathara Kala mencari mangsa (makan), dimana makanan yang sangat disukai oleh Sang Batharakala adalah; Anak ontang-anting (anak semata wayang), jika tidak mendapatkan anak ontang-anting maka sang kala akan mencari; Anak pandawa lima (kelimanya laki-laki semua/perempuan semua), jika masih tetap tidak mendapatkan syarat tersebut maka yang ketiga akan mencari Anak Kendono-kendini (anak laki-laki/perempuan), jika syarat ketiga tetap tidak terpenuhi maka akan beralih mencari binatang ternak. Bukan binatang liar, melainkan binatang ternak, jika tetap tidak mendapatkanya maka Sang Batharakala kelaparan. Demi menyikapi batharakala yang kelaparan, Bagi keluarga yang memiliki anak dengan kriteria diatas yang menjadi makanan kesukaan Bhatarakala maka akan mengadakan Ruatan dengan hiburan wayang dengan lakon Khusus yaitu Murwakala (meruwat batharakala), memberikan Hiburan kepada Batharakala agar terbuai dan melupakan makanan kesukaanya. Siapa gerangan Sang Bhatarakala yang begitu ditakuti oleh penduduk jawa jaman dulu itu? Lebih lanjut Ki Warta memaparkan asal-usul Batharakala, Sengaja pemaparan Ki Warta penulis persingkat untuk memperingkas cerita.

Batarakala adalah putera dari Batara Guru. Suatu hari saat menjelang senja, Betara Guru dan istrinya Dewi Uma pergi dengan menunggang lembu Andini, terbang mengangkasa melihat pesona alam. Saat diatas lautan, angin menelusup menyingkap kain Dewi Uma hingga betis Sang Dewi itu tertangkap mata oleh Batara Guru, hingga membuatnya berhasrat, ia kemudian merayu Dewi Uma untuk mengajaknya memadu kasih pada saat itu juga, di atas penggung Lembu Andini. Namun Dewi Uma menolak hasrat Batara Guru karena merasa bahwa hal itu tidak pantas dilakukan oleh seorang Dewa. Batara Guru terus berusaha merayu, namun Dewi Uma tetap berusaha menolaknya, akhirnya karena tidak mampu lagi menahan hasratnya, keluarlah air kama (mani) Batara Guru hingga jatuh ke laut, Penolakan Dewi Uma membuat Batara Guru murka, keduanya bertengkar. Dalam keadaan yang tak terkendali Dewi Uma mengatakan bahwa perbuatan Batara Guru hanya pantas dilakukan oleh makhluk bertaring panjang (raksasa), Akhirnya ucapan sang Dewi menjadi kenyataan, Batara guru berubah wujud menjadi Raksasa bertaring panjang, Atas dasar itulah Murka Batara guru kian membuncah, lalu dikutuklah Dewi Uma menjadi seorang raksasa perempuan (raksesi). Dewi Uma yang sudah berwujud raksesi oleh Batara Guru ditukar jiwanya dengan Sang Hyang Permoni, Dewi yang berwajah cantik namun berhati bengis. Kemudian dewi Uma yang sejatinya Sang Hyang permoni, diberi nama Betari Durga. Sedangkan air mani Batara Guru yang jatuh ke laut berubah menjadi seorang anak berwujud raksasa yang sangat menyeramkan. Raksasa yang sejatinya anak Batara Guru itu mengamuk di khayangan meminta tiga syarat kepada Batara Guru, Raksasa itu minta untuk diakui sebagai anak, diberi nama dan memperistri Betari Durga yang sejatinya Dewi Uma Ibunya sendiri. Akhirnya ketiganya dipenuhi oleh Batara Guru, dan diberi nama batharakala, sekaligus dijodohkan dengan Dewi Uma yang sejatinya istri Batara Guru. Keduanya kemudian ditempatkan di kahyangan Setra Gondomayit dan menguasai segala jenis makhluk halus.

Pertanyaan dengan kalimat sinis dapat saja nyemburat dari kerongkongan orang yang tak sepakat dengan kisah diatas, mitos, dongeng, tak usah dipercaya!

 

Nah lhoo..

Nanti dulu kawan, jangan sinis dulu, apalagi anda, penulis sendiri juga tidak meyakini kebenaran kisah ini. Kalau tidak benar mengapa mesti ditulis? Eee lha, menulis kisah ini bukan untuk membenarkan, melainkan menyelami barangkali ada hikmah yang dapat dipetik, apalagi jika hikmah yang ada dapat diaplikasikan bagi perbaikan kehidupan sosial. Mengapa mesti menggunakan kisah seperti itu, bukankah banyak kisah yang tidak bertentangan dengan agama yang dianut? Eee lha, semakin banyak referensi lebih menjamin menemukan banyak alat atau senjata yang natinya dapat menemani kita didalam mengarungi belantara kehidupan.

Oke, begini saja, anda teruskan bertanya atau protes, dengan catatan jangan sampai terdengar suaranya oleh telinga saya, dan saya tetap akan melanjutkan penyelaman ini.

 

Hikmah:

Jika hukum orailok (pamali) yang disandarkan pada mitos saja dapat ditaati oleh orang udik, apalgi hukum yang sudah diatur oleh Undang-undang. Ketidak taatan itu sejatinya budaya kekinian, budaya baru, yang diadopsi oleh orang-orang yang sudah membangkang terhadap hukum leluhur (nenek moyang). Dahulu garong sekalipun masih takut dengan penegak hukum (polisi), tapi sekarang garong dapat kongkow bareng dengan penegak hukum. Penjaga penjara dibuat tak berdaya oleh perampok pajak, pembuat anggaran pembangunan dibuat bertekuk lutut oleh pengusaha jelmaan Batarakala, Batarakala dalam kisah yang katanya mitos hanya memangsa anak manusia yang belum tentu kebenaranya, itupun dapat dikelabuhi dengan sekedar hiburan wayang. Namun batarakala masakini dapat menjelma menjadi siapa saja. Sebagian batarakala mangkal disenayan, diistana, dan ditempat-tempat strategis instansi pemerintahan. Batarakala seperti ini lebih buas, memangsa jutaan hak-hak anak manusia (menggasak uang Negara), sebagian memperkosa ibu kandungnya (agama) yang pernah melahirkan namanya dan membesarkanya. Mengibuli pengasuhnya (Kiyai dan ulama) sudah biasa.

 

Orang dahulu masih meyakini ada tempat wingit (angker) dengan demikian tidak berani untuk merusak tempat wingit itu, boro-boro merusak, mendekat saja takut. Namun kini orang yang katanya modern yang sudah tidak mempunyai rasa takut terhadap tempat wingit justru menjelma menjadi penghuninya, lebih buas dari batarakala dalam mitos, pohon besar yang dahulu ditakuti kini disikat habis, akibatnya erosi melanda menggerus, memangsa anak manusia, bencana dimana-mana. Tidak berhenti sampai disitu aspal dan baja ditelanya, akibatnya memangsa kembali anak manusia, sudah berapa ratus bahkan juta anak manusia yang menjadi tumbal kebuasan batarakala jalan raya. Sudah bukan rahasia lagi. Namun sang batara guru sebagai pemimpin Dewa masa kini juga sudah tak mampu berbuat apa-apa, sepertinya justru melulusakan segala kehendak batarakala masa kini. Menjijikan, juga menggelikan.

 

Jauh sebelum budaya kekinian yang menjijikan ada, dalam Tembang sintren berikutnya Sang Maestro sudah berpesan. Manusia agung yang mata dan rasa-nya mampu menembus masa depan. Manusia agung yang sudah membaca akan kelakuan manusia kekinian. Keagunganya dibuktikan dengan tidak mencantumkan nama dirinya pada setiap tembang ciptaanya. Manusia yang terbebas dari keangkuhan dan kesombongan. Dibuktikan beliau tidak meninggalkan jejak, keculai pesanya melalui tembang-tembang untuk budaya sintrenan yang kini tetap abadi. Tulisan ini adalah salah satu bentuk mengabadikan pesan sang maestro kebijaksanaan. Beliau berpesan

  • · Kembang pete kumpul tibane sore
  • · Paman bibi aja lotre
  • · Ikete gari poncote

 

Terjemahan:

  • · Bunga pete Kumpul jatuhnya Sore
  • · Paman, bibi jangan bertaruh (judi)
  • · Ikat kepalanya tinggal ujungnya

 

Hati-hati dengan pesan ini, bunga pete, (kebahagiaan yang sengak), aroma pete memang sengak, walaupun kebahagiaan tapi sengak. Ketika badan anggaran Negara membuat suatu anggaran pembangunan tertentu, pada daerah yang padanya akan dialokasian anggaran tersebut, maka apa yang terjadi, masyarakat yang mendengar pasti riang karena daerahnya diperhatikan dan akan dibangun, yang ada dipikiranya adalah hidupnya akan sejahtera, angka pengangguran akan berkurang. Namaun ketika pembuatan anggaran menjelang final (sore), yang lahir dan menjadi keputusan justu bukan sesuatu yang membahagiakan, tapi justru menggelapkan harapan hidupnya, awalnya bahagia memang, tapi sekedar bunga-bunga, 100% anggaran yang nyampai untuk pembangunan hanya 25%, yang 75% di korupsi oleh oknum pembuat anggaran itu, bekerjasama dengan pengusaha dan kepala daerah.

Bagi masyarakat kebahagiaan macam apa yang didapat, kebahagiaan yang sengak/gagal, Karena semenjak belum lahir sudah diincar oleh batarakala, kemudian ketika lahir dimangsa, dipreteli oleh raksasa-raksesi senayan dan antek-anteknya.

 

Melalui bait berikutnya sang maestro menegur keras para elit, pemimpin, dan pengambil kebijakan di Negeri ini

 

· Paman bibi aja lotre-Paman bibi jangan bertaruh (judi/lotre)

Paman dan Bibi adalah anggota keluarga yang dituakan, wakil orang tua, paman dan bibi anak bangsa ada di senayan sana, diistana, diinstansi-instansi pemerintah, mereka para pengambil kebijakan. Dalam bait ini yang ditegur paman dan bibi, mengapa bukan bapak, percuma, bapaknya sudah tidak berdaya, ketidak berdayaan bapak dapat didasari keburukanya sendiri, tapi juga dapat disebabkan oleh paman dan bibinya yang suka mengelabui sang bapak. Ketika bapak sudah tak berdaya apalagi mbalelo, lalu keluarga diatur oleh paman dan bibi yang mbalelo juga, maka apa yang akan terjadi pada anak-anak bangsa ini, pasti keleleran dan terlunta-lunta karena hak pangannya, hak sandangnya, dan hak papannya dirampas oleh paman dan bibinya. Ah, dasar orang tua mudah sekali melupakan tanggung jawab. Senangnya bermain mata. Dalam urusan berdamai (koalisi) senang menghitung untung rugi, dalam setiap urusan seperti pedagang. Namun terkadang ceroboh, seperti tukang maen lotre (judi), hak anak-anak dipertaruhkan. Kadang menjadi alat tukar kekuasaan. memperturutkan birahi sampai lupa daratan. Tak sadar padahal Ikete gari poncote, (Iket adalah penutup kepala yang sering dikenakan oleh orang tua laki-laki jaman dulu, setiap yang dikenakan dikepala adalah simbol kehormatan, kita dapat dikatakan terhormat manakala hidup dalam keadaan kuat dalam ranah negreri yang berdaulat. Namun saat ini kehormatanya hanya tinggal sedikit lagi, poncot, ujung) Hidup sudah berada dalam ketidak stabilan. Stabilitas keluarga, organisasi, daerah, bahkan Negerinya sudah berada diujung tanduk kehancuran. Ah, dasar Paman ternyata kau penipu, Bibi kau juga culas, Bapak mengapa kau Plonga-plongo saja. Apakah kalian memang sengaja berkoalisi untuk merampas hak anak Negeri ini?

 

Ahirnya pesan sang maestro melalui tembang pete itu nyata terjadi, segala yang sengak, yang kita hirup kini, kian lama sengak itu makin menyeruak, pesing. Entah sampai kapan birahi batarakala, betari durga, dan betara guru itu berakhir.

 

Bersambung

======================================================================

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline