Lihat ke Halaman Asli

Patutkah China Kita Tiru...?.

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_80831" align="alignleft" width="262" caption="China tetap dibawah bayang2 Mao"][/caption] Kenalilah lawanmu dan kenalilah dirimu sendiri maka dalam seratus peperanganpun bukanlah saat yang membahayakan, begitulah ungkapan  Sun Tsu, seorang ahli seni perang tiongkok yang hidup 2500 tahun sebelum masehi. Dalam keseharian pergaulan kita, dalam menghadapi pergaulan sehari2, berhadapan dengan orang yang menganggap diri kita bodoh, maka ilmu yang dimilikinya akan dikeluarkan semua dengan harapan kita mengakui kepintarannya.  Justru karena sikapnya itulah kita mampu mengukur kemampuannya yang artinya kelemahan dan kemampuannya telah terbaca. Untuk mengatasi orang yang demikian tidaklah terlalu sulit. Dalam taktik perang, sebuah pemerintahan yang berkuasa akan terbaca kekuatannya karena mulai dari kekuatan keuangan maupun militernya dapat terbaca baik melalui catatan ataupun kondisi dilapangan. Pada saat revolusi di China, teori perang Sun Tzu digunakan oleh Ketua Partai Komunis China (PKC) Mao Tze Tung untuk melawan kaum reaksioner di bawah kepemimpinan Chiang Kai Sek (Kuomintang). Hasilnya, dengan taktik gerilya mengepung kota dan dukungan luas rakyat kelas bawah, PKC memperoleh kemenangan tak hanya di China bagian utara yang merupakan basis komunis tetapi juga di China bagian selatan. Pada 1 Oktober 1949, kemenangan itu dibacakan di depan gerbang Gapura Kota Terlarang, Beijing. Dalam perang kemerdekaan Indonesia taktik gerilya ini juga dilakukan oleh para pejuang kita, demikian juga oleh vietnam yang berhasil mengusir tentara Amerika Serikat dari buminya. Teori Sun Tzu menyebutkan arti penting kesatuan tiga faktor, yakni keadaan, momentum, bagian padat, dan bagian kosong. Yang dimaksud dengan keadaan adalah semua keadaan kedua belah pihak. Keadaan ini dibagi menjadi dua, yakni dapat dikalahkan dan tidak dapat dikalahkan. Keadaan yang tidak dapat dikalahkan itu tergantung pada diri sendiri. Sedangkan momentum adalah “saat” dan bagian padat ataupun kosong merupakan “sasaran". Supaya tidak dapat dikalahkan seseorang harus membuat dirinya pertama-tama tidak dapat dikalahkan dan kemudian menunggu keadaan lawan untuk dapat dikalahkan. Dari situlah timbul pengertian bertahan dan menyerang. “Mereka tahu lawan sudah kalah sebelum berperang. Mereka tahu berdiri di tempat tak terkalahkan, dan mereka tahu tentaranya sudah menang sebelum berperang”. Namun, untuk membuat seseorang tak dapat dikalahkan, harus ada perpaduan antara pendekatan tertutup dan terbuka. Kedua sifat tersebut walaupun saling berlawanan tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pendekatan tertutup pada momentum tertentu akan melahirkan pendekatan terbuka, begitu juga sebaliknya dan seterusnya. Peralihan dari pendekatan tertutup ke pendekatan terbuka tersebut mesti dilakukan pada momentum yang tepat. Taktik inilah yang kini diterapkan China untuk menghadapi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Begitu revolusi menang pada tahun 1949, China diembargo oleh negara-negara barat. Meskipun demikian, China bergeming pada pendiriannya untuk menciptakan masyarakat sosialis. Namun, dalam kondisi ketertutupan itu, China membangun industri dalam negeri yang ampuh, yakni pembuatan baja, senjata, bom atom, juga pesawat terbang. Di bidang pertanian, China membangun industri pupuk untuk meningkatkan hasil produksi. [caption id="attachment_80817" align="alignright" width="300" caption="Bung Karno .... Nasakom bersatu"][/caption] Indonesia yang pada masa orde lama mempunyai kedekatan hubungan dengan China, konsep2 pembangunan negeri ini juga sedikit banyak dipengaruhi oleh negeri china itu. Menghimpun kekuatan rakyat melalui politik nasakom bersatu adalah sebuah cara untuk membangun kekuatan rakyat. Namun, terlibatnya Bung Karno dalam politik Timur Barat, potensi kekuatan rakyat itu dimplementasikan sebagai pembangunan karakter bangsa anti imperialisme. Dengan politik anti imperialisme itu, Bung Karno menempatkan militer pada ujung tombak sedangkan sipil sebagai pengendali. Terlebih ada sebuah rencana mempersenjatai sipil membuat ketidak sukaan militer terhadap Partai Komunis Indonesia pada waktu itu. Pemberontakan PKI  merupakan momentum Suharto mengambil alih kekuasaan dan memutuskan hubungan diplomatik dengan China. Garis politik Indonesia dibawah Suharto dan China pada dasarnya sama, menciptakan pemerintahan yang represive. Tetapi dalam hal pengendalian kekuasaan ada perbedaan yang sangat mendasar yaitu kalau di China dilakukan melalui politbiro yang bersikap konsisten sedangkan Suharto melalui Golkar dengan budaya menurut  petunjuk bapak presiden yang sangat kental tersebut. Dalam hal pembangunan ekonomi, Suharto sangat liberal dengan menggunakan pinjaman luar negeri baik untuk pembangunan sektor pemerintahan maupun swasta. Pemberian fasilitas kepada swasta untuk mempercepat pertumbuhan industri memang mampu menjaring penanam modal. Tetapi sayang industri dasar menjadi kurang mendapat dukungan sehingga industri yang terbangun adalah industri yang sifatnya asembling yang masih mengandalkan bahan baku dari luar. Tak mengherankan juga juga industri semacam ini berkembang di Indonesia karena faktor pengawasan lingkungan yang masih kendur maupun murahnya tenaga kerja. [caption id="attachment_80835" align="alignleft" width="300" caption="Jakarta .... hasil sebuah kemajuan"][/caption] Berkembangnya Industri secara langsung dapat mensejahterakan rakyat, namun disisi lain aparatur pemerintahan juga tak kalah ingin sejahtera. Korupsipun merajalela sehingga investasi infrastruktur ekonomi yang dibangun dengan pinjaman luar negeri itu ditumpangi kepentingan korupsi itu sehingga tingkat efektifitas dari pembangunan itu untuk kemajuan ekonomi tidak berimbang. Tidak berimbangnya efektifitas itu sehingga ketika menghadapi krisis moneter, segala hasil pembangunan itu tidak mampu mengcover pinjaman. Terlebih industri yang mengandalkan bahan  baku impor, langsung bertumbangan karena mengalami kerugian seketika akibat depresiasi rupiah. [caption id="attachment_80838" align="alignright" width="300" caption="Juga wujud dari kemajuan"][/caption] Berbeda dengan China yang menutup diri dan represive, pembangunan ekonomi secara terstruktur itu telah menempatkan diri sebagai kekuatan ekonomi dunia yang tidak dapat dipandang enteng. Kemajuan China dan krisis yang dialami oleh negara2 barat  ibarat sebuah kereta api ualng alik yang berpapasan, kemjuan China terlihat begitu luar biasa cepatnya karena negara barat mengalami resesi. Apa yang dicapai oleh China adalah sebuah implementasi dari  Sun Tzu yang benar yaitu berdasarkan pengenalan diri sendiri. Berbeda dengan pandangan kita, melihat kemajuan sebuah bangsa dari kaca matanya sendiri, dilihat dan disimak. Tak heran bila para anggota dewan selalu menganggarkan biaya study banding untuk melihat kemajuan bangsa lain. Karena pada dasarnya kita yang selalu ingin mengenal orang lain, bukan mengenali diri kita sendiri sehingga kita tidak pernah mengetahui kemampuan diri kita sendiri. Mengenal diri kitalah sebagai modal untuk sebuah kemajuan, itu yang patut kita tiru dari China.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline