Lihat ke Halaman Asli

Tony

Asal dari desa Wangon

"Dune"

Diperbarui: 29 Maret 2022   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Apakah mimpi hanya sekedar bunga tidur? Denis Villeneuve pasti kurang setuju dengan anggapan tadi. Buktinya film terbaru yang disutradarainya ini sejak awal sudah berbicara tentang pentingnya sebuah mimipi. Seperti sebuah pertanda akan terjadinya sesuatu di masa datang. Kurang lebih begitu. Lalu bagaimana seandainya peristiwa yang sudah kita ketahui dalam mimpi kemudian kita ubah di kehidupan nyata? Apakah nasib baik akan berpihak pada kita? Visualisasi mimpi yang dialami oleh Paul Atreides (Timothee Chalamet) akan menuntun penonton Dune (2021) dengan rapi dan baik.

Kisah film ini ada di kisaran tahun 10191. Angka itu sudah ditulis dengan benar, 10191. Sangat jauh di depan kita saat sekarang dan spesies yang bernama manusia diperlihatkan di film sepertinya tidak ada perubahan dalam evolusi. Ini terlihat dari karakter-karakter yang sama mirip dengan manusia abad 21. Sebuah planet gurun bernama Arrakis memiliki sumber zat paling berharga di alam semesta yang dikenal sebagai melange atau rempah-rempah. Zat tersebut layaknya sebuah obat yang mampu memperpanjang hidup manusia, memberikan tingkat pemikiran manusia menjadi super, dan yang paling penting adalah membuat perjalanan yang lebih cepat dari cahaya menjadi praktis. Ini artinya hibernasi pada saat perjalanan antar bintang tidak lagi menjadi kendala. Salah satu faktor untuk ilmuwan jaman sekarang yang belum menemukan solusi dalam mengirim manusia dari Planet Bumi ke Planet Mars, misalnya. Arrakis digambarkan seperti dijarah. Terutama dari kaum Harkonnen yang dipimpin oleh Baron Vladimir Harkonnen (Stellan Skarsgard) yang mengambil rempah dengan kekerasan. Kaum Fremen, penduduk asli Arrakis yang melindungi rempah layaknya sebuah zat yang sakral, akhirnya banyak yang terbunuh oleh kaum Harkonnen. Mengetahui hal ini, Kekaisaran yang memimpin galaksi di situ memutuskan untuk mengakhiri tugas kaum Harkonnen dalam memanen rempah. Tugas berikutnya dibebankan kepada bangsawan Leto Atreides (Oscar Isaac) ayah Paul. Penugasan ini artinya Leto bersama seluruh keluarga dan armadanya akan menetap di Arrakis dalam waktu yang lama. Leto disukai oleh seluruh bawahannya karena bijak. Sebelum ayahnya mendapat tugas untuk mengelola melange, Paul sudah mengalami banyak mimpi yang akan menuntun dirinya ke sebuah perjalanan berbahaya bersama rakyatnya. Paul sendiri tidak mengetahui arti dari mimpi-mimpinya. Secara diam-diam Leto menugaskan Gurney Halleck (Josh Brolin) untuk melatih Paul dalam seni bertarung. Dan juga Leto menugaskan jauh-jauh hari kepada Duncan Idaho (Jason Momoa) yang juga pelatih Paul untuk berbaur dengan kaum Fremen. Waktu akhirnya membuat Paul menjadi dewasa. Arti mimpi-mimpinya berusaha dibuat menjadi terbalik. Apabila dalam mimpinya Paul terbunuh, maka kali ini Paul akan berusaha untuk tidak terbunuh. Paul sadar bahwa ayahnya yang diketahui kemudian sudah dibunuh menerima tugas ini tidak semata-mata untuk mengambil rempah, melainkan "membuang" dirinya agar berbaur dengan kaum Fremen untuk menjaga melange agar tidak menjadi sebuah komoditi murahan. Sebab Leto tahu bahwa penugasannya kali ini adalah sebuah jebakan. Jebakan yang akan mengantar kaum Atreides dalam sebuah pembantaian.

Jangan membandingkan film ini dengan pendahulunya yang diproduksi tahun 1984. Secara visual pendahulunya akan terlihat ketinggalan jaman. Temponya juga sangat lamban. Baik visual efek maupun desain kostum, pendahulunya benar-benar ketinggalan jaman terutama untuk penonton yang hidup di era smartphone. Tapi tunggu dulu. Dune 1984 yang disutradarai oleh David Lynch adalah masterpiece meski gagal secara finansial. Tidak masuk di bioskop Indonesia dan bisa melihat posternya serta melihat gambar Sting (pentolan grup musik The Police yang juga ikut main di film) sedang menggenggam sebuah belati di sebuah majalah pada jaman itu, benar-benar suatu berkah. Tapi ada yang aneh untuk film ini, pihak Badan Sensor Film Indonesia memberi label untuk penonton semua umur. Padahal banyak adegan sadis yang disuguhkan. Apalagi saat adegan kaum Harkonnen menyerang Atreides, Glossu Rabban (Dave Bautista) keponakan Baron ini hobinya memenggal kepala orang. Motif Baron bernapsu menjarah rempah hanya untuk mendapat laba dari black market, rasa-rasanya terlalu cengeng dan aneh juga. Padahal seharusnya taruhannya sebuah planet.

Seperti No Time to Die, penonton bioskop Indonesia mendapat kesempatan lebih dulu dibanding negeri paman Sam yang premiere nya jatuh di 22 Oktober besok. Orisinalitas film ini sepertinya agak kurang. Pesawat-pesawat pengangkut yang mirip batu besar selintas mengingatkan kita pada transportasi milik kaum Jawa di Star Wars. Efek visual dari shield atau tameng yang dimiliki oleh para prajurit mungkin tidak membuat penonton takjub. Pabrik melange juga didesain kurang futuristik. Padahal angka tadi, 10191, sudah ditulis dengan benar. Jauh dari jaman sekarang. Mirip candi yang dibangun suku Maya dan pengambilan gambarnya mengingatkan kita pada Blade Runner versi Ridley Scott. Apalagi munculnya tokoh Baron untuk pertama kalinya. Sambil mengelus kepalanya yang botak, Baron tak ubahnya seperti Kolonel Kurtz yang diperankan oleh Marlon Brando di Apocalypse Now (1979). Padahal Sicario (2015) karya Villeneuve sebelumnya rasa-rasanya berhasil masuk dalam babak baru cara menyuguhkan thriller seputar kejahatan dunia narkoba. Dune memiliki beberapa adegan yang bagus juga. Seperti misalnya saat Lady Jessica, selir Leto ibu kandung Paul, sedang memilih seorang wanita yang akan menjadi salah satu pelayan disuguhkan dalam sebuah adegan yang bagus. Juga saat Paul dan ibunya ditawan dan hendak dibuang dari ornithopter, eksekusinya cukup unik.

Piala Academy Award selanjutnya mungkin akan mengantar film ini di kategori Best Film Editing. Ikon film ini yang tidak boleh dilewatkan yaitu cacing raksasa dan tampilnya ornithopter (helikopter yang mirip binatang capung) mungkin bakal menjadi ciri khas baru untuk film ini. Terbaca di layar dengan judul Dune: Part One, film ini berakhir dengan gambar dimana diperlihatkan kaum Fremen sedang mengendalikan cacing raksasa yang sudah berhasil dijinakkan. Tidak ada bonus scene di akhir kredit. Tapi penonton boleh menunggu sampai film benar-benar usai sambil mendengar musik karya Hans Zimmer. Sebab ada penonton atau tidak, proyektor film di bioskop sekarang harus benar-benar selesai sampai habis saat memutar film. Berbeda dengan kita di rumah yang kapan saja bisa menekan tombol play/stop kapan saja dengan media player rumahan. Untuk sebuah produksi tontonan yang benar-benar didesain memanjakan mata dan telinga, Dune kalau bisa jangan dilewatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline